Terbayang selalu wajah ceriamu...wajah ceria ketika kau bersama keluarga dan anak-anakmu yang masih kecil-kecil..hiks.
Kau penghibur bagi kami semua, terlebih terhadap Ibu kita. Baginya, kau adalah hiburannya. Kau, anak laki-laki bungsu kesayangan Ibu. Adikku, tahu tidak, hingga kini, Ibu juga masih sering menangisimu. Kami kehilangan sosokmu..hiks.
Kau kan yang selalu mengompori kami untuk guyub. Katamu, keluarga kita harus kompak, saling tolong dan menolong dan jangan lupa membahagiakan orangtua. Maka tak heran, kau sering mengajak keluarga untuk jalan bareng. Rekreasi bersama atau minimal makan bareng di warung bakso di pinggir jalan.
Adikku, aku bersaksi pada Allah, kau orang yang sederhana. Selain menyenangkan, kau tidak suka berhutang. Bagimu, berhutang membuat seseorang sengsara. Kamu sangat bangga dan bahagia tidak memiliki hutang. Tidak mengapa pakai motor tua, yang penting tidak ada beban, katamu sambil tersenyum ceria.
Aku ingat, kalau kamu berkunjung, pasti membawa makanan atau minuman untuk disantap bersama. Asyik sekali masa-masa itu..Â
Masa hidupmu..penuh dengan perjuangan sekaligus keceriaan. Akankah kembali lagi? Tidak mungkin, tentu saja.
Ah, aku seperti anak kecil saja. Jujur, aku masih saja menangisi kepergianmu, Adikku..
Padahal kau, hanya seorang adik saja kok. Tapi mengapa kesedihanku atas kepergianmu masih sulit kuhilangkan hingga kini?
Ssst.. Diam-diam aku sering menangisimu. Terlebih jika ingat wajah lucu anak-anakmu yang masih balita. Sulit bagiku untuk bisa tersenyum. Sedih rasanya membayangkan anak-anakmu yang belum menyadari kepergianmu, wahai Adikku..
Kata istrimu, anakmu yang balita cerita kepada gurunya, ..katanya dia benci ayahnya yang belum pulang juga ke rumah.
Hiks.Hiks.Hiks.. Aku tak kuasa menahan air mata yang meluap ini.