Mohon tunggu...
Esra K. Sembiring
Esra K. Sembiring Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS

"Dalam Dunia Yang Penuh Kekhawatiran, Jadilah Pejuang"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benarkah Kita Indonesia?

14 September 2019   09:54 Diperbarui: 14 September 2019   10:14 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polemik revisi UU KPK yang akan segera dituntaskan di persidangan DPR ternyata berbuntut sistemik. Penolakan maupun dukungan terhadap revisi ini sama-sama di klaim sebagai gerakan moril untuk lebih memajukan Indonesia. Tentu dengan alasan pembenarannya masing-masing. 

Siapa sebenarnya pihak yang paling layak mengklaim dirinya sebagai yang paling benar dan paling paham dalam menyelamatkan bumi nusantara kita ini ?. Apakah DPR, DPD, KPK, atau Presiden, atau siapa ?.

Benarkah pendapat yang mengatakan bahwa pemberantasan korupsi selalu harus dijadikan prioritas utama agar dapat mencapai tujuan pembangunan nasional, walaupun ancaman disintegrasi bangsa sudah terlihat menggeliat didepan mata ?. 

Masih perlukah hal seperti ini lebih prioritas dibahas saat negaranya sedang diterpa isu primordialis yg bisa mengarah kepada disintegrasi bangsa ?. Atau, apakah antisipasi bonus demografi di Indonesia yang akan tiba tahun 2020 ini tidak lebih penting untuk segera dicarikan solusi nya, atau persoalan lainnya.

Seperti infiltrasi ideologi asing yang sudah berkecamuk dibanyak negara hingga menimbulkan perang saudara, atau juga, warning dari world bank terhadap ancaman krisis moneter ekonomi global seperti tahun 1997 lalu yang dapat menggilas perekonomian banyak negara termasuk Indonesia.

Mengapa ini perlu dipertanyakan ?

Karena banyak jenis permasalahan bangsa ini yang juga perlu "lebih" segera dicarikan solusi nya daripada sekedar ribut soal jabatan. Energi bangsa ini sudah hampir habis terkuras pada kompetisi pilpres lalu, karena itu "batre" nya jangan sampai jadi "soak" karena dipaksakan berpolemik lagi tentang masalah "like or dislike" pada figur seseorang calon pemimpin KPK baru yang akan dilantik desember nanti. 

Singkat kata, bila masih ada penolakan terhadap figur seseorang, maka rumus gampangnya adalah semua polemiknya dikembalikan kepada aturan main teknis dan wewenang pemilihannya. Itu saja. 

Sudah sering terjadi bahwa figur pemimpin suatu lembaga maupun kepala daerah yang walaupun sudah terpilih secara legal tapi tetap saja tidak disukai oleh sebagian kecil / besar warga atau anggotanya. 

Hal yang manusiawi saja sebenarnya, dan sudah banyak juga pepatah pribahasa kita yang menjelaskannya. Bahwa selagi kita masih hidup di dunia fana ini, maka perbedaan tafsir, kesimpulan dan pilihan adalah suatu kelumrahan. Biasa saja itu !. Tidak perlu hingga berakibat pada penolakan atau mobilisasi kekuatan massa seperti yang terjadi sekarang ini. 

Inti nya, kalau ada pihak yang tetap tidak puas dengan keputusan DPR terhadap calon pimpinan KPK yang baru, atau tidak setuju pada usulan revisi UU KPK yang sedang digodok di Komisi III DPR, maka jalur aspirasi terbaiknya adalah melalui gugatan keberatannya secara hukum, karena Indonesia adalah negara hukum. 

Setiap warga megara sama kedudukannya dihadapan hukum. Harus tunduk dan loyal pada putusan hukum, meskipun putusannya mungkin saja tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan, karena begitulah demokrasi.

Kalau tidak dipahami dengan konsep cara berpikir yang demikian, maka tiap hari di negara Indonesia yang heterogen dan sangat luas ini, kemungkinan yang terjadi adalah "adu tanding" demonstrasi dan mobilisasi massa untuk menekan pemerintah agar merubah putusan yang sudah dihasilkan.

Perlu penulis tekankan ulang kembali, bahwa terlepas dari klaim siapa yang (paling) benar atau salah, persoalannya kemudian adalah sampai kapan kita menyadari bahwa egoisme sempit seperti ini banyak menghabiskan energi bangsa ini untuk urusan yang kurang esensial. 

Soal " _like or dislike"_ dan sejenisnya itu, sementara ancaman, tantangan dan hambatan bangsa ini yang lebih besar sudah terpampang dengan jelas didepan mata.

Yang lebih krusial dibahas saat ini adalah soal pemerataan rasa ke-Indonesia-an seluruh rakyat negara ini. _Sense of belonging_ sebagai satu bangsa yang sama. Mengapa saudara kita di papua sebahagian ada yang merasa tersakiti hati nya,. 

Apakah mungkin ada yang terlupakan dalam memilih prioritas pembangunan saat ini ?. Mungkinkah ada jalur komunikasi sosial budaya yang terputus akibat kompetisi pemilu lalu ?. Atau karena elit politik kita yang masih terperangkap untuk pembenaran egoisme kelompoknya masing-masing ?.

Apakah wajar bila ada pihak yang merasa lebih Indonesia dari saudara sebangsanya yang berasal dari daerah lain di Indonesia ini ?. Se "onggok" pertanyaan kegelisahan yang hanya bisa dibahas dengan kepala yang dingin.

_Flashback_ pelajaran sejarah, ternyata nama Indonesia muncul dan diperkenalkan oleh James Richardson Logan (1819-1869) tahun 1850 dalam _Journal of Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA)._ Sementara Logan itu sendiri adalah seorang Skotlandia. 

Bukan pribumi, artinya tidak layak bila kita saat ini ada yang merasa lebih paham tentang Indonesia. Sedangkan pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). 

Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau, yang kemudian pada tahun-tahun berikutnya nama Indonesia itu selalu dipopulerkam dalam setiap pertemuan tokoh gerakan kemerdekaan.

Bagaimana dengan kita ?. Apakah kita sudah berpartisipasi menjaga keutuhan NKRI ini ?. Indonesia membentang luas dari ujung Timur hingga ke ujung Barat nusantara yang meliputi 34 provinsi dan kurang lebih 255 juta penduduk. Luas nya mencapai 1.919.440 kilometer persegi. 

Mencakup 17.508 pulau dan 6 ribu tidak berpenghuni. Berada di urutan ke-15 sebagai negara terluas di dunia. Sedangkan provinsi yang memiliki pulau paling banyak adalah Kepulauan Riau dengan pulau sebanyak 2.408. Kemudian Papua Barat 1.945 pulau, dan Maluku Utara 1.474 pulau. Tantangan kita sekarang, bagaimana persatuan bangsa Indonesia itu di masa depan masih bisa dipertahankan. 

Persatuan bangsa sekarang ini masih dapat terwujud karena tekad kuat dan semangat kebersamaan senasib sepenanggungan seluruh rakyat warga negara nya. Bagaimana kelak, bila semua orang sibuk memikirkan kepentingan kelompok nya masing-masing, seperti saat ini ?.

Lalu apa alternatif solusinya untuk polemik KPK saat ini ?. Realitas saat ini, keberadaan KPK tetap masih perlu diberikan porsi yang besar dalam pencegahan korupsi di Indonesia, tentu dengan perbaikan sistim nya yang sudah 17 tahun belum pernah di "over haull". Supaya lebih kencang dan stabil lajunya mengawasi mekanisme pertanggungjawaban dana rakyat dalam pembangunan negara tercinta ini.

Penutup

Patih Gajah Mada, patih kerajaan Majapahit dalam masa pemerintahan prabu Hayam Wuruk mengungkapkan sumpah Palapa yang begitu terkenal yang dicatat dalam kitab Pararaton. Sumpah inilah yang disebut-sebut sebagai sumpah untuk menyatukan nusantara. 

"Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tajungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa".

Yang arti singkatnya, "Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati palapa". Palapa di sini diartikan sebagai rempah-rempah atau rempah kehidupan yang berarti Patih Gajah Mada tidak akan menikmati kehidupan dunia sebelum sumpahnya tercapai.

Apakah mungkin masih ada gelora semangat militansi untuk mempersatukan bangsa seperti Gajjah Mada itu di saat sekarang ini ?. Tentu kita sendiri tiap individu yang harus berani tampil menjadi contohnya. 

Satu hal yang pasti, tidak mungkin akan terjadi integrasi nasional bila tidak ada komunikasi sosial diantara masyarakatnya. Karena itu, maka menjadi kewajiban semua kita generasi penerus bangsa untuk mulai menyapa dengan sopan dan memberi salam kepada sesama anak kandung bangsa Indonesia ini. 

Tanpa pernah membedakan suku, ras, budaya dan agama nya. Dari sabang sampai merauke, dari miangas hingga ke pulau rote. Kitorang samua basodara. Maturnuwun. Horas. Mejuah juah !.

Ini Indonesia kita, Bung !

Oleh : Esra Kriahanta Sembiring ( Alumni Politik UGM, Magister Administrasi Publik LAN, dan Magister Pertahanan UNHAN )

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun