Mohon tunggu...
Evi Siregar
Evi Siregar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen-peneliti

Bekerja di sebuah universitas negeri di Mexico City.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Mampukah Kuliner Indonesia Hadir dalam Menu Sehari-hari Masyarakat Dunia?

3 Maret 2022   09:54 Diperbarui: 3 Maret 2022   13:41 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelas kuliner Indonesia di satu sekolah gastronomi di Meksiko. Foto: dokumentasi pribadi.

Tahun lalu pemerintah meluncurkan program “Indonesia Spice Up The World”, untuk meningkatkan penjualan rempah-rempah dan rempah olahan (bumbu) di pasar internasional, sekaligus mendorong kuliner Indonesia (dengan menargetkan pembukaan 4000 restoran Indonesia di berbagai penjuru dunia) dan bisnis gastronomi Indonesia di luar negeri.

Ini merupakan strategi pemerintah Indonesia dalam menaikkan devisa sekaligus melakukan gastrodiplomasi kepada dunia. Diharapkan Indonesia dapat menjadi negara tempat tujuan wisata kuliner (gastrowisata).

Strategi ini sebenarnya bukanlah sebuah terobosan baru. Thailand sudah melakukannya sejak tahun 2002, Korea Selatan sejak tahun 2009, Malaysia sejak tahun 2010, Peru sejak tahun 2011, bahkan China sudah memulainya sejak tahun 1972 ketika Presiden Amerika Serikat Richard Nixon berkunjung ke sana.

Keputusan pemerintah meluncurkan program “Indonesia Spice Up The World” merupakan langkah yang sangat baik. 

Sebagai negara penghasil rempah-rempah dan memiliki kuliner yang bisa disejajarkan dengan kuliner-kuliner lain di dunia, Indonesia harus mempunyai kebijakan untuk mengembangkan pasar rempah-rempah dan bumbu serta gastrodiplomasi kepada dunia.

Festival Kuliner Indonesia di Mexico City. Foto: dokumentasi pribadi.
Festival Kuliner Indonesia di Mexico City. Foto: dokumentasi pribadi.

Kalau kita memperhatikan kembali program “Indonesia Spice Up The World”, interpretasi yang tepat terhadap kebijakan tersebut bukanlah pada ‘menduniakan kuliner Indonesia’, melainkan pada ‘menjadikan kuliner Indonesia muncul dalam menu sehari-hari masyarakat dunia’.

Contohnya saja, kalau pemerintah Indonesia ingin mendorong pangsa pasar internasional kecap manis, tentu yang diinginkan adalah agar juga dibeli oleh masyarakat dunia. Namun, bagaimana mereka sampai memutuskan membeli kecap manis, kalau tidak tahu bagaimana menggunakannya? 

Apakah kita berharap mereka membelinya hanya untuk ‘membeli’? Kalau begini, misi Indonesia menduniakan kulinernya tentu tidak akan tercapai. Lagipula, kecap manis akan lebih maksimal (sesuai fungsinya) kalau digunakan untuk membuat masakan Indonesia.

Jadi, usaha pemerintah memperluas pasar rempah-rempah dan bumbu tidak akan sukses, jika tidak dibarengi dengan usaha mempromosikan kulinernya. 

Targetnya pun sebaiknya bukan hanya untuk dikonsumsi di restoran Indonesia, melainkan juga untuk dibuat di rumah mereka. Untuk merealisasikannya, pemerintah Indonesia tentu harus menggandeng diaspora.

Kelas kuliner Indonesia di satu sekolah gastronomi di Meksiko. Foto: dokumentasi pribadi.
Kelas kuliner Indonesia di satu sekolah gastronomi di Meksiko. Foto: dokumentasi pribadi.

Bagi diaspora Indonesia, program “Indonesia Spice Up The World” bak pucuk dicinta ulam tiba. Demikian juga bagi Indonesian Diaspora Network Global atau IDN Global, yang memang salah satu misinya berfokus pada promosi kuliner Indonesia.

Beberapa hari yang lalu, lewat program working group kuliner “Dialog Interaktif Diaspora Seri Gastrodiplomasi”, mereka menyelenggarakan sebuah webinar, menyuguhkan tema diskusi “Peran Diaspora Dalam Gastrodiplomasi Indonesia”, dan mendatangkan Menteri Parekraf Sandiaga Uno, Robert Manan (pendiri Indonesia Culinary Institute), Indra Kataren (pendiri Adi Gastronom Indonesia), dan Budiono Sukim (MasterChef The Professionals 2021, UK).

Dalam webinar tersebut, President IDN Global Kartini Sarsilaningsih menyampaikan bahwa diaspora Indonesia merupakan duta-duta yang selalu bisa diandalkan untuk melakukan promosi kuliner Indonesia.

Ini sebenarnya sudah mereka lakukan, melalui restoran yang mereka buka, produk yang mereka impor dari Indonesia, workshop yang mereka buat, termasuk jamuan makan yang mereka suguhkan kepada rekan kerja mereka. Artinya, tanpa disadari, mereka telah melakukan gastrodiplomasi di tempat mereka tinggal.

Gastrodisplomasi adalah strategi yang handal untuk memperkenalkan budaya sebuah negara. Italia adalah contoh salah satu negara yang sukses. 

Kalau Italia bisa, Indonesia tentu juga bisa. Namun, Indonesia harus mempunyai strategi yang tepat dan kolaborasi yang kuat, terutama dengan diasporanya. 

Dalam hal ini, IDN Global merupakan wadah diaspora, yang bekerja secara global, yang hasil kerjanya tentu akan lebih maksimal. Apalagi sudah ada kerja sama langsung dengan pemerintah daerah. Ini penting, sebab setiap daerah memiliki keunikan dan itu merupakan kekuatan sekaligus aset Indonesia.

Kelas kuliner Indonesia di Taiwan. Foto: Kartika Dewi.
Kelas kuliner Indonesia di Taiwan. Foto: Kartika Dewi.

Sudah sejauh mana kekuatan gastrodiplomasi Indonesia saat ini?

Indra Kataren menjelaskan bahwa kekayaan kuliner Indonesia, terutama dalam hal rempah-rempah dan bumbu, luar biasa; kedua terbesar di dunia. Akan tetapi, belum dimanfaatkan secara serius. 

Di Indonesia terminologi gastrodiplomasi saja baru dikenal tahun 2012. Penggunaan istilah kuliner dan gastronomi pun masih bercampur-campur.

Kata kuliner (dari bahasa latin culinarius dan culina ‘memasak’ dan ‘masakan’), dalam arti yang luas, merujuk pada ‘kemampuan dan kreativitas pada saat membuat masakan’, yang berkaitan dengan praktek dan identitas budaya masyarakat yang memilikinya. 

Sementara gastronomi (dari kata gastro ‘perut’ atau ‘makanan’ dan nomos ‘aturan’ dan ‘ilmu pengetahuan’) merujuk pada ‘ilmu pengetahuan atau studi tentang makanan’ (termasuk minuman).

Istilah gastrodiplomasi muncul setelah Thailand meluncurkan program “Thai Kitchen Of The World”. Namun, Paul Rockower-lah yang membuat istilah tersebut menjadi populer. 

Menurut definisi Paul Rockower, gastrodiplomasi merujuk pada ‘kegiatan satu pemerintah untuk meningkatkan nilai dan posisi national brand mereka melalui makanan’.

Kuliner Indonesia. Foto: dokumentasi pribadi.
Kuliner Indonesia. Foto: dokumentasi pribadi.

Gastrodiplomasi merupakan sebuah strategi yang handal. Indonesia Culinary Institute telah melakukan banyak hal untuk menduniakan kuliner Indonesia. 

Sayangnya, pemerintah Indonesia belum memiliki format yang jelas dan terstruktur di dalam kerangka kerjanya. Masih dijalankan sendiri-sendiri, bahkan durasinya pun kadang masih sebatas pada masa jabatan pimpinannya. Misalnya, kegiatan ini kerap dilakukan terutama oleh Kementrian Luar Negeri (melalui perwakilan pemerintah di luar negeri).

Di samping itu, pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat Indonesia sendiri masih berpikir bahwa kuliner hanya sebatas resep, chef, dan nama restoran, padahal di dalamnya terkandung elemen sejarah, tradisi, dan budaya. Selain itu, yang sering ditampilkan hanya masakan yang itu-itu saja, padahal keragaman kuliner Indonesia sangat luas.

Indonesia juga belum mempunyai strategi yang ampuh dalam melakukan gastrodiplomasi. Meskipun kegiatan gastrodiplomasi sudah dijalankan sudah lama, belum terbentuk imej masyarakat dunia tentang Indonesia dan kulinernya. 

Bandingkan dengan negara yang telah sukses membentuk imej itu, misalnya Thailand = Tom Yam, Korea = Kimchi, Italia = Pasta. Bukan hanya imej, tetapi juga devisa yang besar.

Kuliner Indonesia. Foto: dokumentasi pribadi.
Kuliner Indonesia. Foto: dokumentasi pribadi.

Bisakah program “Indonesia Spice Up The World” diandalkan?

Program “Indonesia Spice Up The World” berfokus utama pada ekspor rempah-rempah dan bumbu, utamanya lada, pala, cengkeh, jahe, kayu manis, vanila, dan kecap manis. Dari sini diharapkan akan tercipta imej kuliner Indonesia yang kaya rempah. 

Bersamaan dengan program itu, ditargetkan pembukaan 4000 restoran Indonesia di berbagai penjuru dunia, menjagokan lima masakan: rendang, soto ayam, gado-gado, nasi goreng, dan sate.

Namun, program saja tidak cukup. Pemerintah Indonesia harus melakukan banyak hal. Yang utama adalah agar program ini berkelanjutan dan mutu rempah-rempah, bumbu, serta makanan haruslah berkualitas tinggi.

Pihak Kemenparekraf sendiri telah mencatat kendala yang dihadapi restoran Indonesia di luar negeri, seperti akses terhadap bumbu (yang terbatas dan mahal). Pasar yang kecil di luar negeri menyebabkan harga menjadi mahal. Bagaimana penyelesaiannya? Apakah program “Indonesia Spice Up The World” adalah jawabannya? Namun, jika targetnya hanya diaspora Indonesia, tidak akan terjadi perubahan apapun.

Nasi Madura. Foto: dokumentasi pribadi.
Nasi Madura. Foto: dokumentasi pribadi.

Kita tentu berharap bahwa program “Indonesia Spice Up The World” memang bener-benar dirancang untuk masyarakat dunia. Untuk menyukseskannya, harus disosialisasikan kepada diaspora Indonesia. 

Kuliner Indonesia harus dipromosikan dengan baik: enak dan berkualitas. Tidak hanya rendang, soto ayam, gado-gado, nasi goreng, dan sate. 

Semur mungkin bisa menjadi alternatif, apalagi untuk memasaknya digunakan lada, pala, cengkeh, dan kecap. Buatlah juga video-video cara memasaknya dengan bahasa setempat.

Seperti yang disampaikan Menparekraf Sandiaga Uno: dari lidah turun ke hati, dari hati naik ke kepala, dari kepala turun ke dompet. 

Kalau orang mencoba makanan yang enak, dia akan puas, lalu jatuh hati. Kalau sudah jatuh hati, dia bersedia mengeluarkan uang untuk mendapatkannya (pergi ke restoran, bahkan ke tempat asal). Berikutnya, dia akan mencoba memasaknya di rumah, menjadikannya sebagai salah satu menu harian.

Empal Daging. Foto: dokumentasi pribadi.
Empal Daging. Foto: dokumentasi pribadi.

Dari pihak pemerintah, diharapkan mendorong diaspora yang terjun ke dalam bisnis kuliner, dengan mengajak investor baru, memberikan tawaran pinjaman lunak, dan bantuan dari pakar kuliner di dalam negeri. Seperti yang disampaikan Chef Budiono Sukim, Indonesia tidak kalah dengan Thailand, Vietnam, atau Jepang, tetapi promosi haruslah berskala besar.

Namun, sosialisasi dan dukungan bukan hanya diberikan kepada diaspora, yang memang menjadi pintu Indonesia, melainkan juga kepada masyarakat Indonesia sendiri, agar memiliki konsep yang sama dan kegiatan terintegrasi, karena ada misi lain, yaitu gastrowisata.

Mexico City, 3 Maret 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun