Mohon tunggu...
Said Mustafa Husin
Said Mustafa Husin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance, pemerhati kebijakan dan wacana sosial, penulis profil tokoh dan daerah, environmental activists.

Freelance, pemerhati kebijakan dan wacana sosial, penulis profil tokoh dan daerah, environmental activists.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Filsafat dan Perubahan dalam Pola Pikir Manusia

14 Agustus 2024   15:42 Diperbarui: 16 Agustus 2024   09:07 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto Darus.id)

"Sejak Thales pertama kali melontarkan pertanyaan filsafat tentang alam semesta, filsafat terus tumbuh dan berkembang yang kemudian membawa perubahan dalam pola pikir manusia. Namun herannya, sampai hari ini masih saja banyak yang bertanya apa itu filsafat"

Perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris adalah awal dari perkembangan filsafat.  Di zaman Yunani Kuno, orang-orang hidup dan bernalar dalam mitos, sehingga mitologi tentang dewa layaknya bagaikan suplemen eksplanasi realitas

Misalnya Zeus dipercaya sebagai raja para dewa seperti dewa petir; dewa langit; dan dewa hukum. Zeus dikenal pula sebagai pengendali cuaca dan penguasa alam semesta. Bahkan Zeus yang lekat dengan simbol petir juga dikenal sebagai penguasa Gunung Olympus

Athena dipercaya sebagai dewa kebijaksanaan, dewa perang, dan dewa seni sekaligus pelindung kota Athena. Ada juga Poseidon yang lekat dengan simbol trisula disebut juga sebagai dewa laut mengendalikan gempa bumi, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan air.

Gagasan mitologi di zaman Yunani Kuno memiliki daya penjelasan yang sungguh luar biasa dalam menjawab pertanyaan manusia tentang alam dan dunia sekitarnya. Namun kemudian gagasan mitologi ini ditinggalkan setelah kehadiran filsafat

Lantas apa itu filsafat. Pertanyaan ini sepintas tampak sederhana sekali. Namun pertanyaan apa itu filsafat, tidaklah sesederhana pertanyaan tentang apa itu matematika, apa itu fisika atau apa itu sejarah yang bisa diberikan jawaban lugas.

Filsafat lahir dari suatu pemikiran kritis. Filsafat mengkritik dan merekonstruksi pemahaman manusia melampaui mitos yang ada. Arkhe yang berarti prinsip permulaan atau dasar realitas, menjadi pemantik filsuf-filsuf awal dalam menggeser paradigma mitos ke logos.

Thales misalnya, menganggap arkhe dunia adalah air, sedangkan Anaximenes berpikir semestinya udara. Kendati dua filsuf awal ini masih berpikir primitif, namun keduanya sudah mengedepankan cara berpikir rasional yang berbeda dengan cara berpikir mitos.

Dari sini pula, Louis O. Kattsoff membagi ciri-ciri pikiran filsafat menjadi enam garis besar. Pertama, pikiran-pikiran filsafat adalah suatu bagan konsepsional. Artinya, filsafat merupakan pemikiran tentang sesuatu yang umum.

Lalu kedua, pikiran-pikiran filsafat mestilah sebuah sistem yang koheren.  Keruntutan dan kelogisan diperlukan dalam kontruksi bangunan filsafat yang baik. Hal ini berkaitan dengan aturan penalaran yang rasional.

Ketiga, konsep-konsep dalam filsafat mesti bersifat rasional. Keempat, filsafat senantiasa komprehensif. Filsafat berpikir dan menjelaskan dengan menyeluruh, tidak sepotong-sepotong yang acapkali menghasilkan kesimpulan yang keliru.

Sedangkan ciri pikiran filsafat kelima adalah suatu pandangan tentang dunia dan segala hal di dalamnya. Terakhir, filsafat membuat suatu definisi pendahuluan yang kemudian menjadi dasar-dasar science atau ilmu pengetahuan

Selain ciri-ciri pikiran yang mendasari konstruksi bangunan filsafat. Filsafat itu sendiri dikelompokkan dalam tiga cabang seperti Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Ontologi selalu membahas tentang "Ada" "Meng-Ada" dan "Peng-Ada" 

Ontologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang nyata, bagaimana hal-hal nyata tersebut ada, dan apa yang menjadi dasar atau substansi dari realitas. Dari jawaban atas pertanyaan ini, kita bisa mendekati dan mengenali, setidaknya mengetahui apa itu filsafat.

Filsafat selalu berkutat dengan pengetahuan. Teori tentang pengetahuan inilah yang akan disebut sebagai epistemologi. Epistemologi mempelajari sifat, asal-usul, dan batasan pengetahuan. Epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan

Kini anggaplah kita sudah mengetahui fakta (ontologis) dan kita paham tentang pengetahuan (epistemologis), Pertanyaannya, bisakah kemudian kita menyimpulkan apa yang seharusnya secara normatif dari apa yang ada secara objektif?

Pertanyaan ini pernah dijawab oleh seorang filsuf asal Skotlandia, David Hume. Filsuf yang juga dikenal sebagai sejarawan dan ekonom itu menjawabnya dengan sangat radikal sehingga menempatkan deskritif dan normatif dalam jarak yang tak mungkin bisa dibaurkan.

David Hume (1711 -- 1776) yang juga dikenal sebagai salah satu figur paling penting dalam filosofi barat dan "Pencerahan Skotlandia" ini mengedepankan pandangan bahwa pernyataan deskriptif tidak dapat berubah menjadi pernyataan normatif.

Ia pun memberikan cotoh. Misalnya, ada fakta bahwa "orang melakukan tindakan X". Menurut David Hume kita tidak boleh secara semena-mena langsung mengambil kesimpulan bahwa "orang seharusnya melakukan tindakan X" atau "tindakan X adalah hal yang baik atau buruk."

Inilah dasar Hume menegaskan pernyataan deskritif tidak bisa berubah menjadi pernyataan normatif. Hume menggambarkan pemisahan ini sebagai "Guillotine Hume". Pengamatan empiris dan apa yang seharusnya menjadi dasar etika atau estetika harus dipisahkan  

Dalam cabang filsafat Aksiologi, etika atau estetika memiliki satu kesamaan yakni di dalamnya bernaung nilai. Aksiologi memahami sifat nilai, prinsip-prinsip dalam penilaian, dan pertanyaan tentang apa yang baik dan yang buruk, apa yang indah dan tidak indah.

Secara historis, filsafat mencakup inti dari segala pengetahuan. Kendati begitu, dari zaman filsuf Yunani Kuno seperti Aristoteles hingga abad ke-19, filsafat tak terpisahkan dari pertanyaan - pertanyaan. Sebab hakikat filsafat lebih kepada pertanyaan dari pada jawaban

Pertanyaan klasik dalam filsafat misalnya "Apakah memungkinkan untuk mengetahui segala sesuatu dan membuktikannya". "Apa yang paling nyata?" Para filsuf juga mengajukan pertanyaan yang lebih praktis dan konkret

Misalnya "Apakah ada cara terbaik untuk hidup?" "Apakah lebih baik menjadi adil atau tidak adil" "Apakah manusia memiliki kehendak bebas" Bahkan pada era modern investigasi pertanyaan filsafat menjadi disiplin akademik seperti psikologi, sosiologi, linguitik dan ekonomi

Kendati begitu, filsafat tidak akan pernah digdaya tanpa dibersamai penalaran yang kuat. Logika menjadi alat dan hal fundamental yang tak terelakkan ketika berfilsafat. Filsafat yang baik adalah filsafat yang dibersamai logika atau argumen logis.

Logika mempelajari prinsip-prinsip penalaran yang valid dan struktur argumen yang benar. Logika berfokus pada cara berpikir rasional dan penggunaan alat-alat berpikir yang tepat dalam merumuskan dan mengevaluasi argumen.

Karena itu, logical fallacy harus dihindarkan dalam berfilsafat. Sebab logical fallacy adalah kesalahan dalam penalaran yang dapat menyebabkan argumen menjadi tidak valid atau tidak meyakinkan. Logical fallacy akan menimbulkan inkonsistensi, trivialitas, dan paradoks.

Dalam ilmu logika ada sejumlah argumentasi yang masuk dalam logical fallacy seperti argumentum ad hominem yaitu argumentasi yang menyerang wilayah privacy lawan debat dan menginggalkan pokok bahasan

Ada juga argumentum ad populum yaitu argumentasi yang berpijak pada pemikiran bahwa jika semua orang melakukannya berarti itu benar. Ada lagi argumentum ad ignorantum yaitu argument yang  mengeneralisir sesuatu secara tidak tepat, dan banyak lagi   

Filsafat bukan semata-mata mengejawantahkan sejumlah fakta. Mempelajari filsafat artinya belajar untuk menjadi kritis melalui argumentasi logis agar terhindar dari inkonsistensi, trivialitas dan paradoks   

Pemikiran filsafat adalah pemikiran yang skeptis, pemikiran yang meragukan segala hal. Dan ini pula yang menjadi dasar pijakan filsuf Perancis, Rene Descartes. Ia meragukan segala hal termasuk meragukan dirinya sendiri

Dari sikap  skeptis ini Descartes sampai pada kesimpulan " Cogito Ergosum" artinya "Aku Bepikir maka Aku Ada". Dari kalimat ini Descartes membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti adalah keberadaan seseorang sendiri.

Keberadaan seseorang sendiri itu dibuktikan pula dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri sehingga lahirlah adagium " Cogito Ergosum" atau "Aku Berpikir maka Aku Ada" yang cukup terkenal di kalangan filsuf modern

Mulanya Descartes ingin mencari kebenaran. Ia memulainya dengan meragukan semua hal termasuk meragukan keberadaan dirinya sendiri. Dengan meragukan semua hal dia telah membersihkan dirinya dari berbagai prasangka yang bisa menuntunnya ke jalan yang salah     

Descartes ragu, mungkin saja berpikir sebenarnya tidak membawanya menuju kebenaran. Mungkin saja bahwa pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa manusia kepada kebenaran, tetapi sebaliknya membawanya kepada kesalahan.

Descartes yakin ada semacam kekuatan tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah. Sampai di sini, Descartes tiba-tiba sadar bahwa bagaimanapun ia tetap berpikir.

Berpikir, inilah satu-satunya yang jelas. Inilah satu-satunya cara untuk membuktikan keberadaannya. Keberadaan seseorang sendiri itu dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri. Ia pun sampai pada kesimpulan "Cogito Ergosum"

Meragukan segala hal merupakan  dasar dari pertanyaan-pertanyaan filsafat. "Apakah ada nilai moral" "Apakah orang lain punya pikiran yang sama denganku" Apakah ada kehendak bebas" " Mengapa bahasa memiliki makna" "Mengapa kita semua mati"

Pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan filsafat yang lahir dari sikap meragukan segala hal. Karena itu disebutkan jika dalam filsafat keraguan dianggap tabu maka seketika itu pula filsafat akan menghembuskan nafas terkahir alias mati

Filsafat punya metodologi dalam mengkaji pertanyaan-pertanyaan umum dan asasi, misalnya pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi, penalaran, nilai-nilai luhur, akal budi dan lainnya. Metodolgi yang lazim digunakan Socrates adalah dialektika.

Dari dialektika Socrates inilah lahir pemikiran-pemikiran filsafat yang terus berkembang hingga kini. Bahkan di era digitalisasi dengan maraknya interaksi dunia maya saat ini lahir juga filsafat yang disebut hyperealitas. Filsafat tak akan pernah berhenti sepanjang di bumi ini masih ada orang berpikir (said mustafa husin)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun