Mohon tunggu...
Said Mustafa Husin
Said Mustafa Husin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance, pemerhati kebijakan dan wacana sosial, penulis profil tokoh dan daerah, environmental activists.

Freelance, pemerhati kebijakan dan wacana sosial, penulis profil tokoh dan daerah, environmental activists.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Filsafat dan Perubahan dalam Pola Pikir Manusia

14 Agustus 2024   15:42 Diperbarui: 14 Agustus 2024   17:21 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto Darus.id)

Ketiga, konsep-konsep dalam filsafat mesti bersifat rasional. Keempat, filsafat senantiasa komprehensif. Filsafat berpikir dan menjelaskan dengan menyeluruh, tidak sepotong-sepotong yang acapkali menghasilkan kesimpulan yang keliru.

Sedangkan ciri pikiran filsafat kelima adalah suatu pandangan tentang dunia dan segala hal di dalamnya. Terakhir, filsafat membuat suatu definisi pendahuluan yang kemudian menjadi dasar-dasar science atau ilmu pengetahuan

Selain ciri-ciri pikiran yang mendasari konstruksi bangunan filsafat. Filsafat itu sendiri dikelompokkan dalam tiga cabang seperti Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Ontologi selalu membahas tentang "Ada" "Meng-Ada" dan "Peng-Ada" 

Ontologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang nyata, bagaimana hal-hal nyata tersebut ada, dan apa yang menjadi dasar atau substansi dari realitas. Dari jawaban atas pertanyaan ini, kita bisa mendekati dan mengenali, setidaknya mengetahui apa itu filsafat.

Filsafat selalu berkutat dengan pengetahuan. Teori tentang pengetahuan inilah yang akan disebut sebagai epistemologi. Epistemologi mempelajari sifat, asal-usul, dan batasan pengetahuan. Epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan

Anggaplah kita sudah mengetahui fakta (ontologis) dan kita paham tentang pengetahuan (epistemologis), Pertanyaannya, bisakah kemudian kita menyimpulkan apa yang seharusnya secara normatif dari apa yang ada secara objektif?

Pertanyaan ini pernah dijawab oleh seorang filsuf asal Skotlandia, David Hume. Filsuf yang juga dikenal sebagai sejarawan dan ekonom itu menjawabnya dengan sangat radikal sehingga menempatkan deskritif dan normatif dalam jarak yang tak mungkin bisa dibaurkan.

David Hume (1711 -- 1776) yang juga dikenal sebagai salah satu figur paling penting dalam filosofi barat dan "Pencerahan Skotlandia" ini mengedepankan pandangan bahwa pernyataan deskriptif tidak dapat berubah menjadi pernyataan normatif.

Ia pun memberikan cotoh. Misalnya, ada fakta bahwa "orang melakukan tindakan X". Menurut David Hume kita tidak boleh secara semena-mena langsung mengambil kesimpulan bahwa "orang seharusnya melakukan tindakan X" atau "tindakan X adalah hal yang baik atau buruk."

Inilah dasar Hume menegaskan pernyataan deskritif tidak bisa berubah menjadi pernyataan normatif. Hume menggambarkan pemisahan ini sebagai "Guillotine Hume". Pengamatan empiris dan apa yang seharusnya menjadi dasar etika atau estetika harus dipisahkan  

Dalam cabang filsafat Aksiologi, etika atau estetika memiliki satu kesamaan yakni di dalamnya bernaung nilai. Aksiologi memahami sifat nilai, prinsip-prinsip dalam penilaian, dan pertanyaan tentang apa yang baik dan yang buruk, apa yang indah dan tidak indah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun