Mohon tunggu...
Esa Ardhia Pramesthi
Esa Ardhia Pramesthi Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Hanya seseorang yang memiliki kegemaran menulis, membaca, dan menonton film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Pohon Terakhir

3 Oktober 2023   10:35 Diperbarui: 5 Oktober 2023   20:10 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pohon terakhir. Sumber: Pexels/Taylor Hunt

Tahun berapa sekarang? Aku sudah kehilangan jejak dalam memantau tahun, bulan, tanggal dan hari. Bahkan untuk satuan detik saja menjadi tanda tanya besar yang membuatku hampir kehilangan akal. 

Satu-satunya cara yang membuat aku mengenal waktu hanyalah ketika matahari bersinar dan meredup sampai bulan timbul bersinar terang.

Namun bagi hewan sepertiku, apalah arti waktu? Kami hanya hidup untuk makan, tidur, bermain, dan menunggu kematian bertamu. Sangat berbanding terbalik dengan manusia.

Dalam perspektifku, manusia adalah makhluk teraneh yang ada di muka bumi ini. Mereka selalu memperhatikan benda dengan jarum yang berputar di tangan mereka, aku meyakini itu adalah sebuah penanda waktu. 

Tapi bagiku, ada lagi yang lebih aneh dari diri manusia yang membuat aku kebingungan; manusia sering merusak alam dan menggantikannya dengan gedung-gedung yang besar.

Untuk apa? Aku tidak mengerti. Maksudku, bangunan itu memang cantik, menjulang tinggi hampir menyentuh langit. Namun dampaknya adalah perubahan iklim yang sangat drastis dan pengekspolitasian sumber daya alam yang berlebihan membuat keanekaragaman hayati habis. 

Apa mereka tidak sadar dengan adanya dampak buruk yang merugi? Atau memang sengaja menutup mata demi keuntungan pribadi? Manusia benar-benar membuat kerugian yang besar, khususnya bagi kami, hewan dan tumbuhan yang tidak cukup memiliki kekuatan untuk melawan senjata para manusia. 

Hutan asri yang tumbuh banyak rumput dan pepohonan adalah rumah kami, surga kami. Di sana lah kami mendapat perlindungan dan makanan. Aku rasa alam juga memberikan banyak khasiat untuk para manusia. 

Tapi kenapa mereka merusaknya? Kenapa mereka membakarnya dan menghancurkannya dengan benda-benda besar yang menyeramkan? Pertanyaan itu menjadi pertanyaan yang tidak pernah aku dapatkan jawabannya. Menggantung, seperti yang sedang aku lakukan di seutas kabel listrik ini.

Bola mataku terus bergerak ke sana-kemari untuk mencari sesuatu yang bisa aku tempati. Sejujurnya, aku ingin sebuah pohon. Tidak masalah apakah itu pohon kecil atau besar, aku hanya ingin bertengger di atas dahannya. 

Berkicau-kicau sekaligus berbicara dengan pohon yang aku tempati. Sepertinya itu menjadi cita-cita bagi kami para burung yang sudah sulit menemukan sebuah pohon belakangan ini.

"Kau masih memiliki hasrat untuk mencari sebuah pohon?" tanya burung merpati yang tiba-tiba datang menghampiriku. Warnanya putih bersih, sangat kontras dengan warna buluku yang hitam legam.

Aku membenarkan posisiku, "ya, tentu saja."

"Buang saja hasratmu itu," usul sang merpati. "Kau tidak akan menemukannya meskipun mencari ke ujung dunia."

"Atas dasar apa kau berkata demikian?"

"Aku sudah sering mendengar tangisan burung yang tidak bisa menemukan pohon."

"Kau baru mendengarnya, bukan melihatnya."

"Melihatnya? Aku sudah sering melihat gedung-gedung tinggi tanpa ada pohon lagi."

Aku terpaku, tidak bisa lagi menjawab karena semua hewan juga pasti sudah tau jika seluruh penjuru dunia ini tidak ada lagi pohon yang tersisa. Namun dengan secuil perasaan yakin yang masih tersisa di hati, aku menantang sang merpati. "Lihat saja nanti."

"Dan jika aku berhasil menemukan sebuah pohon, maka kau harus bersedia bertukar warna bulu denganku." kataku sebelum pergi terbang meninggalkan sang merpati sendirian.

Sayap kuatku ini terus mengepak dari suatu pemberhentian ke pemberhentian lain. Di Setiap pemberhentian, mataku tidak lelah menelisik setiap sudut pandangan hanya untuk mencari tanda-tanda kehidupan sebuah pohon. 

Sumber gambar: Pinterest @efrontiers
Sumber gambar: Pinterest @efrontiers

Sesekali aku membiarkan nada merdu keluar dari tenggorokanku, tanpa peduli dengan omongan makhluk lain yang menyebutnya dengan nyanyian kematian. Toh, memang, aku sedang mengutarakan kepada seluruh alam semesta bahwa telah mati perasaan-perasaan manusia. 

Selangkah demi selangkah, aku menapaki lintasan waktu. Berkunjung ke tempat-tempat yang beragam, aku merasa seakan melintasi cerita-cerita yang tak berujung. 

Rasa harapku nyaris memudar, terancam lenyap di tengah perjalanan yang panjang ini. Namun, seperti hembusan angin yang perlahan mengusap wajahku, aku berhasil menemukan ladang yang telah rata dengan permukaan tanah.

Bau harum tanah segar masih menyelinap ke dalam indra penciumanku. Sepertinya baru-baru ini para manusia telah melakukan usahanya dengan tekun, meratakan lahan ini dengan perasaan senang, mungkin dalam upaya membasmi hamparan rumput liar dan tanaman liar yang dulunya tumbuh subur di sini.

Akan tetapi, di antara segala perubahan itu, hanya ada satu yang tetap utuh, yang berdiri tegak, menjadi saksi bisu dari waktu yang berlalu. Itu adalah pohon yang menjulang besar, sebuah monumen alam yang tetap gagah di tengah hamparan tanah kosong ini.

Akhirnya, di ujung perjalanan, aku menemukan pohon itu! Kebahagiaanku meluap, melimpah tak terhingga! Di dalam hati, tidak henti-henti aku bersorak gembira. Tidak lupa juga mengutuk sang merpati yang memberikan kenyataan yang salah. Ini artinya, ia harus rela menukar warna bulunya denganku!

Meskipun terlihat sangat tua, pohon itu terlihat besar dan segar. Daun-daun hijaunya membuat mataku terpana, batang-batang kokohnya membuat semangatku membara. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung menghampiri pohon besar itu dengan segera.

"Akhirnya aku menemukan sebuah pohon!" Ujarku tepat saat berhasil mendarat di salah satu cabang pohonnya. Nada suara gembira tidak bisa aku kendalikan.

Pohon itu sempat terkejut, daun-daunnya bergoyangan. "Oh, seekor gagak rupanya."

Aku melompat-lompat, mengalunkan suara lagi. "Aku sudah lama mencarimu!"

Dengan nada menggoda, pohon itu tertawa nyaring. "Kamu sungguh gigih," ia memuji, kemudian melanjutkan dengan ekspresi sedikit tajam, "Sama seperti manusia yang dengan gigihnya merusak teman-temanku."

Rasa semangatku diserap habis oleh kalimat pohon itu. Meskipun diberi pujian, tapi hatiku sakit ketika pohon itu mengatakan kebenaran. Bukan karena manusianya, melainkan teman-teman pohon yang dirampas oleh mereka.

"Jadi, teman-temanmu ...,"

"Mati," sambung pohon itu dengan tenang, melanjutkan kata-kataku yang terputus karena kesedihanku yang tak terlukiskan.

Setelah mendatangi banyak tempat, setelah mengelilingi sudut-sudut dunia, aku tidak terkejut mendengar kalimat itu. Namun hatiku menjerit kesakitan, ia seolah berhasil dihajar mati-matian oleh kenyataan. 

Sudah tidak ada lagi alam yang menyegarkan, lalu bagaimana lagi aku harus menikmati kehidupan? Tidak, ini semua belum selesai. Masih ada pohon tua ini.

"Hei gagak, panggil semua teman-temanmu yang ada di sekitar sini." 

"Untuk apa? Aku tidak mau berbagi pohon dengan burung lain."

"Aku ingin mendengar suara-suara burung yang merdu."

"Maksudmu suaraku tidak merdu?"

Lagi-lagi pohon tua itu tertawa, suara tawa khas yang terdengar sangat rapuh itu terngiang-ngiang di telingaku. Aku pasti akan terus mengingatnya.

"Orang gila mana yang beranggapan bahwa suara kematian itu merdu?"

"Sialan," sungutku. Aku tidak menyalahkannya, karena apa yang pohon tua itu ucapkan memang sepenuhnya memiliki kebenaran. Tidak ada yang menyukai suaraku kecuali setan-setan yang tidak memiliki perasaan, biasanya ia tidak takut akan kematian.

"Tidak, jangan hanya burung. Tapi panggil semua hewan yang ada di sekitar sini. Beritahu pada mereka bahwa ada satu pohon terakhir yang tersisa di muka bumi ini." Mohon si pohon tua.

Dengan usaha terbaik yang bisa kulakukan, aku pergi ke sekitar untuk memanggil teman-teman yang lain. Kabar gembira itu dengan cepat tersebar dari mulut ke mulut hewan di daratan. 

Siapa saja, mau musuh atau sahabatku, aku tidak peduli. Hanya satu hal yang paling penting sekarang ini; kami semua merayakan keberadaan pohon yang selama ini kami cari-cari.

"Aku sudah mengundang semua hewan yang berhasil kutemukan di sekitar sini." Kataku, memberikan laporan kepada pohon tua. Aura kegembiraan terpancar jelas dari tubuh si pohon tua, tidak heran jika dia terus menggoyang-goyangkan ranting beserta daun-daunnya yang lebat.

Aku juga turut bahagia, turut serta mengeluarkan suara meskipun sang pohon tua membencinya. Ditengah-tengah kami berdua bernyanyi dan menari, satu per satu hewan-hewan berdatangan dengan berseri-seri.

Hari itu adalah hari perayaan yang luar biasa. Kami semua berbincang, bercanda, bernyanyi, bahkan ada beberapa hewan yang mengambil daun dari pohon tua ini untuk dimakan. 

Namun, pohon tua itu tidak keberatan sama sekali, dia justru merasa senang karena tubuhnya bisa memberikan manfaat kepada sesama makhluk hidup. Ketika kami merasa lelah, kami tidur bersama di bawah naungan pohon tua ini.

Sungguh luar biasa, kali ini aku merasa hidup dengan seutuhnya.

Tidak terasa, matahari kembali menjalankan tugasnya di atas sana. Kami semua terbangun dari tidur dan kembali berbincang. Namun, ketika pohon tua itu mulai bersuara, kami semua terdiam, terpaku oleh kata-katanya yang tak terduga.

"Kalian semua harus pergi dari sini," ujar pohon tua itu.

"Kenapa? Apa kamu tidak senang kami semua menempati tubuhmu?" Tanya seekor kadal dengan nada lirih yang sedih.

"Hei, aku justru senang sekali bisa berpukul seperti ini!" Hardik si pohon tua. Aku percaya dengan kalimat itu, karena sejak kemarin, aura kebahagiaan tidak berhenti bersinar dari tubuhnya.

"Kalian harus pergi, karena aku juga akan mati, ditebang oleh manusia yang keji." 

Kami semua seperti tersambar petir ketika kata-kata itu mencapai telinga kami. Harapan yang baru saja mekar untuk menyambut kehidupan yang baru lenyap begitu saja, menguap ke kejauhan. Suara tangisan kami merobek hening, menggema sebagai bukti nyata bahwa kesedihan benar-benar merajai hati dan jiwa kami. 

Pada awalnya, kami semua bersikeras tidak mau pergi dari sini. Tetapi segerombolan manusia datang kemari, membawa mesin yang ujungnya berjeruji. Ketakutan? Jelas, semua hewan yang tadinya keras kepala tidak mau beranjak jadi berhamburan pergi ketika melihat manusia tak terpuji.

Tapi aku adalah gagak yang paling berani. Aku tidak gentar, aku masih bertengger di dahan pohon ini. Dengan amarah dan kesedihan yang bercampur menjadi satu, aku mengeluarkan suara dengan sekuat tenaga. Ini adalah upaya terakhirku untuk mengusir manusia, untuk menakut-nakuti mereka dengan seruan kematian yang mengerikan.

"Dengar, itu adalah suara gagak yang menakjubkan!" celetuk salah satu manusia di bawah sana.

Aku terperanjat. Apa katanya? Indah? Tidak. Tidak. Aku sedang tidak membuat para manusia itu terkesan. Aku sedang marah!

"Sebaiknya kau pergi, gagak. Aku tidak ingin kamu mati ditembak oleh para manusia itu." Saran pohon tua, suaranya sudah lemah karena mengetahui kematian akan menjemputnya.

"Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu mati!" Suaraku memekik tinggi, "kau pohon terakhir!"

"Terimakasih telah menemukanku." 

Dan kemudian, dalam sekejap, dentuman tembakan menggema. Dengan refleks cepat, aku meluncur menjauh untuk menghindari peluru yang datang dari tangan manusia. Dalam kemarahan yang membakar, aku mengutuk manusia itu tanpa henti. Sialan! Mereka makhluk hidup sialan!

Memangnya dunia ini milik mereka?

Manusia sialan.

Manusia sialan.

Manusia sialan. Mereka benar-benar lupa jika Tuhan menciptakan dunia bukan hanya untuk dirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun