Sesekali aku membiarkan nada merdu keluar dari tenggorokanku, tanpa peduli dengan omongan makhluk lain yang menyebutnya dengan nyanyian kematian. Toh, memang, aku sedang mengutarakan kepada seluruh alam semesta bahwa telah mati perasaan-perasaan manusia.Â
Selangkah demi selangkah, aku menapaki lintasan waktu. Berkunjung ke tempat-tempat yang beragam, aku merasa seakan melintasi cerita-cerita yang tak berujung.Â
Rasa harapku nyaris memudar, terancam lenyap di tengah perjalanan yang panjang ini. Namun, seperti hembusan angin yang perlahan mengusap wajahku, aku berhasil menemukan ladang yang telah rata dengan permukaan tanah.
Bau harum tanah segar masih menyelinap ke dalam indra penciumanku. Sepertinya baru-baru ini para manusia telah melakukan usahanya dengan tekun, meratakan lahan ini dengan perasaan senang, mungkin dalam upaya membasmi hamparan rumput liar dan tanaman liar yang dulunya tumbuh subur di sini.
Akan tetapi, di antara segala perubahan itu, hanya ada satu yang tetap utuh, yang berdiri tegak, menjadi saksi bisu dari waktu yang berlalu. Itu adalah pohon yang menjulang besar, sebuah monumen alam yang tetap gagah di tengah hamparan tanah kosong ini.
Akhirnya, di ujung perjalanan, aku menemukan pohon itu! Kebahagiaanku meluap, melimpah tak terhingga! Di dalam hati, tidak henti-henti aku bersorak gembira. Tidak lupa juga mengutuk sang merpati yang memberikan kenyataan yang salah. Ini artinya, ia harus rela menukar warna bulunya denganku!
Meskipun terlihat sangat tua, pohon itu terlihat besar dan segar. Daun-daun hijaunya membuat mataku terpana, batang-batang kokohnya membuat semangatku membara. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung menghampiri pohon besar itu dengan segera.
"Akhirnya aku menemukan sebuah pohon!" Ujarku tepat saat berhasil mendarat di salah satu cabang pohonnya. Nada suara gembira tidak bisa aku kendalikan.
Pohon itu sempat terkejut, daun-daunnya bergoyangan. "Oh, seekor gagak rupanya."
Aku melompat-lompat, mengalunkan suara lagi. "Aku sudah lama mencarimu!"