Mohon tunggu...
Esa Ardhia Pramesthi
Esa Ardhia Pramesthi Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Hanya seseorang yang memiliki kegemaran menulis, membaca, dan menonton film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Pohon Terakhir

3 Oktober 2023   10:35 Diperbarui: 5 Oktober 2023   20:10 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pohon terakhir. Sumber: Pexels/Taylor Hunt

"Orang gila mana yang beranggapan bahwa suara kematian itu merdu?"

"Sialan," sungutku. Aku tidak menyalahkannya, karena apa yang pohon tua itu ucapkan memang sepenuhnya memiliki kebenaran. Tidak ada yang menyukai suaraku kecuali setan-setan yang tidak memiliki perasaan, biasanya ia tidak takut akan kematian.

"Tidak, jangan hanya burung. Tapi panggil semua hewan yang ada di sekitar sini. Beritahu pada mereka bahwa ada satu pohon terakhir yang tersisa di muka bumi ini." Mohon si pohon tua.

Dengan usaha terbaik yang bisa kulakukan, aku pergi ke sekitar untuk memanggil teman-teman yang lain. Kabar gembira itu dengan cepat tersebar dari mulut ke mulut hewan di daratan. 

Siapa saja, mau musuh atau sahabatku, aku tidak peduli. Hanya satu hal yang paling penting sekarang ini; kami semua merayakan keberadaan pohon yang selama ini kami cari-cari.

"Aku sudah mengundang semua hewan yang berhasil kutemukan di sekitar sini." Kataku, memberikan laporan kepada pohon tua. Aura kegembiraan terpancar jelas dari tubuh si pohon tua, tidak heran jika dia terus menggoyang-goyangkan ranting beserta daun-daunnya yang lebat.

Aku juga turut bahagia, turut serta mengeluarkan suara meskipun sang pohon tua membencinya. Ditengah-tengah kami berdua bernyanyi dan menari, satu per satu hewan-hewan berdatangan dengan berseri-seri.

Hari itu adalah hari perayaan yang luar biasa. Kami semua berbincang, bercanda, bernyanyi, bahkan ada beberapa hewan yang mengambil daun dari pohon tua ini untuk dimakan. 

Namun, pohon tua itu tidak keberatan sama sekali, dia justru merasa senang karena tubuhnya bisa memberikan manfaat kepada sesama makhluk hidup. Ketika kami merasa lelah, kami tidur bersama di bawah naungan pohon tua ini.

Sungguh luar biasa, kali ini aku merasa hidup dengan seutuhnya.

Tidak terasa, matahari kembali menjalankan tugasnya di atas sana. Kami semua terbangun dari tidur dan kembali berbincang. Namun, ketika pohon tua itu mulai bersuara, kami semua terdiam, terpaku oleh kata-katanya yang tak terduga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun