Dengan nada menggoda, pohon itu tertawa nyaring. "Kamu sungguh gigih," ia memuji, kemudian melanjutkan dengan ekspresi sedikit tajam, "Sama seperti manusia yang dengan gigihnya merusak teman-temanku."
Rasa semangatku diserap habis oleh kalimat pohon itu. Meskipun diberi pujian, tapi hatiku sakit ketika pohon itu mengatakan kebenaran. Bukan karena manusianya, melainkan teman-teman pohon yang dirampas oleh mereka.
"Jadi, teman-temanmu ...,"
"Mati," sambung pohon itu dengan tenang, melanjutkan kata-kataku yang terputus karena kesedihanku yang tak terlukiskan.
Setelah mendatangi banyak tempat, setelah mengelilingi sudut-sudut dunia, aku tidak terkejut mendengar kalimat itu. Namun hatiku menjerit kesakitan, ia seolah berhasil dihajar mati-matian oleh kenyataan.Â
Sudah tidak ada lagi alam yang menyegarkan, lalu bagaimana lagi aku harus menikmati kehidupan? Tidak, ini semua belum selesai. Masih ada pohon tua ini.
"Hei gagak, panggil semua teman-temanmu yang ada di sekitar sini."Â
"Untuk apa? Aku tidak mau berbagi pohon dengan burung lain."
"Aku ingin mendengar suara-suara burung yang merdu."
"Maksudmu suaraku tidak merdu?"
Lagi-lagi pohon tua itu tertawa, suara tawa khas yang terdengar sangat rapuh itu terngiang-ngiang di telingaku. Aku pasti akan terus mengingatnya.