Mentari nampaknya agak mulai mengintip di sela-sela awan ufuk timur, mendengar nyayian burung dan hembusan angin tuk menengok tarian dedaunan pohon Angsana.
Sebuah harmonisasi yang menghanyutkanku pada sebuah ingatan pilu. Tangan dan kaki tak bisa melawan ketika seorang gadis pujaan yang mencintaiku, disentuh oleh seorang laki-laki bejat. Aku tak bisa memaafkan diriku ketika air mata itu menetes di pipi dan suara lirihnya kudengar terucap kata "tolong".
Bakka, seorang preman dan pembunuh bayaran, dia yang membuatku tersungkur dihadapan Majang gadis pujaanku dan selama sebulan kuterbaring lemah diranjang tua milik kakekku.
Kukepalkan tangan dan bersumpah dihadapan mentari dan apa yang ada di sekitarku, bahwa aku Cepi tidak akan mati sebelum Kawaliku* menembus perut Bakka.
"Kau harus tau, bahwa Bakka itu terkenal punya ilmu kebal" ucap Kakekku yang muncul dari dalam rumah yang sedari tadi memperhatikanku.
"Aku tau! izinkan aku belajar bela diri, untuk membalaskan dendamku."
"Dari kecil aku ingin mengajarkanmu ilmu bela diri, tapi kau dan Ayahmu yang selalu beralasan tidak suka kekerasan, lantas karena dendam, kau ingin belajar?" Tanya kakekku.
Aku terdiam tak tau ingin menjawab apa. Tanpa kata sedikitpun aku beranjak meninggalkannya
Dalam perjalanan aku berpikir, mustahil membunuh Bakka dengan tangan kosong tanpa keahlian bela diri. Kucoba menemui teman masa kecilku, dia seorang anak tentara yang juga terkenal punya banyak teman preman.
Di rumahnya aku dapati dia bersama teman-temannya mabuk-mabukan.
"Cang, tolong aku" ucapku tanpa basa-basi