Lalu pasca pemberlakuan undang-undang keamanan nasional tahun 1947, perselisisihan antara sipil dan militer yang lebih hebat pun terjadi. Bahkan perselisihan ini tidak hanya melibatkan militer dan petinggi sipil, melainkan perselisihan yang juga melibatkan antar cabang dinas militer. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1949 di mana beberapa Laksamana dari Angkatan Laut Amerika Serikat memprotes besar-besaran karena kebijakan yang diambil oleh Menteri Pertahanan pada saat itu, Louis A. Johnson. Peristiwa yang dikenal sebagai “Revolt of the Admirals” ini terjadi karena keputusan Menhan Johnson yang ternyata juga disetujui oleh Presiden Harry S. Truman untuk membatalkan proyek Kapal Induk Super terbaru untuk armada Angkatan Laut Amerika Serikat, yaitu U.S.S. United States (CVA-58) dan megalokasikan dana untuk Kapal Induk U.S.S. United States ini untuk pengadaan pesawat bomber strategis jarak jauh Angkatan Udara Amerika Serikat, yaitu B-36 Peacemaker. Apalagi mengingat peran penting kapal induk pada saat perang dunia kedua sehingga Angkatan laut Amerika Serikat membutuhkan Kapal Induk yang jauh lebih besar dan lebih canggih dari Kapal Induk yang digunakan pada saat Perang Dunia Kedua.
Namun sayangnya segala usaha tersebut sia-sia, Denfeld justru diberhentikan dari posisinya sebagai Kepala Staff Angkatan Laut oleh Menteri Angkatan Laut Francis P. Matthew dengan tuduhan pembangkangan dan tidak patuh dengan atasan dan Proyek Kapal Induk U.S.S. United States pun dibatalkan dan Angkatan Udara Amerika Serikat mendapatkan pesawat bomber jarak jauhnya, Convair B-36 Peacemaker.
Pada saat Perang Korea pecah pada 25 Juni, 1950, juga masih diwarnai oleh konflik antara sipil dan militer. Pada tahap awal peperangan pemerintahan Truman berusaha untuk mempertahankan Korea Selatan dari serangan lebih lanjut dari Korea Utara, dengan mengambil langkah yaitu memblokade perairan Korea Utara. Namun kali ini justru giliran pihak Angkatan Laut yang menuduh pemerintahan Truman tidak serius akan rencana blokade perairan Korea Utara ini, dikarenakan keterbatasannya armada Angkatan Laut untuk melakukan blokade akibat dari pemotongan anggaran Angkatan Laut terutama untuk Proyek kapal baru angkatan laut, salah satunya U.S.S. United States, dan yang mana anggaran tersebut dialokasikan untuk Angkatan Udara guna proyek pesawat bomber B-36 Peacemaker. Tetapi mustahil untuk memblokade perairan menggunakan pesawat dan blokade jauh lebih efektif dengan Kapal. Akibatnya Presiden Truman pun memecat Menteri Pertahanan Louis Johnson karena dianggap gagal dalam mencegah serangan Korea Utara terhadap Korea Selatan dan gagalnya kebijakannya pada saat Perang Korea. Di sisi lain pemerintahan Presiden Truman pada akhirnya juga menyetujui proyek Kapal Induk Super untuk Angkatan Laut dan pada tahun 1951 Kongress Amerika Serikat menyetujui dana untuk membangun Kapal Induk Super pertama Angkatan Laut Amerika Serikat, U.S.S. Forrestal (CV-59) yang diambil dari nama Menteri Pertahanan Amerika Serikat yang pertama yang juga merupakan Menteri Angkatan Laut, James Forrestal.
Namun perselisihan sengit antara militer dan sipil pun kembali terjadi pada saat Perang Korea. Pada September 1950, Pasukan koalisi Perserikatan Bangsa Bangsa di bawah komando salah satu Jenderal legendaris Amerika Serikat yang sangat terkenal karena perannya dalam mengalahkan Jepang pada Perang Dunia Kedua, yaitu Jenderal Douglas MacArthur, berhasil merebut kembali Ibukota Korea Selatan Seoul yang pada waktu itu sempat berhasil diduduki oleh Pasukan Korea Utara, pada misi pendaratan pasukan yang terkenal di Inchon atau yang dikenal sebagai “Battle of Inchon.”
Sayangnya pada tahun 1951, pertempuran di Korea sepertinya kian memanas apalagi pada Januari 1951 di mana Seoul kembali jatuh ke tangan pasukan Korea Utara atas bantuan dari pasukan Republik Rakyat Cina atau RRC. Walaupun pasukan MacArthur berhasil merebut kembali Seoul pada Maret 1951, namun sepertinya MacArthur justru ingin memperluas pertempuran di semenanjung Korea. MacArthur tidak hanya ingin memperluas penyerangan hingga Pyongyang, tetapi bahkan MacArthur juga ingin memperluas penyerangan hingga wilayah RRC. Menanggapi hal ini, Truman sangatlah tidak setuju dengan rencana MacArthur untuk memperluas penyerbuan, dikarenakan Truman khawatir jika nantinya akan menyebabkan pertempuran yang lebih besar dan bahkan dapat memicu Perang berskala Perang Dunia, akibat diperluasnya penyerbuan dan dapat melibatkan secara langsung tidak hanya dengan pasukan Korea Utara, tetapi juga dengan pasukan Uni Soviet dan RRC. Mendengar hal itu MacArthur sangatlah kecewa dengan keputusan Truman yang menolak usulannya untuk memperluas penyerbuan, bahkan MacArthur secara terang-terangan menunjukan ketidaksetujuannya dengan kebijakan Truman pada Perang Korea ini dan bahkan akan melancarkan aksinya sendiri baik disetujui atau tidak oleh Truman. Takut akan pecahnya perang yang lebih besar, Presiden Truman dan Menteri Pertahanan George Marshall pun tidak memiliki pilihan lain selain membebastugaskan MacArthur dari posisinya sebagai Komandan Pasukan koalisi Perserikatan Bangsa Bangsa di Korea.
Tetapi sayangnya Kennedy menolak usulan dari para petinggi militer untuk segera menyerbu Kuba. Para petinggi Militer terus mendesak agar Kennedy mengambil langkah lebih lanjut untuk segera menyerbu Kuba dan pusat instalasi rudal Uni Soviet di Kuba. Salah satunya yang terus mendesak Kennedy untuk menyerbu Kuba adalah Kepala Staff Angkatan Udara Jenderal Curtis LeMay yang mana LeMay terus mendorong agar Kennedy segera memberinya persetujuan untuk segera mengerahkan pesawat-pesawat Angkatan Udara Amerika Serikat untuk mengebom instalasi rudal Soviet di Kuba. Ironisnya Kennedy terus enggan akan usulan tersebut. Seperti halnya yang dihadapi oleh Presiden Truman pada saat Perang Korea, Presiden Kennedy khawatir jika Kuba diserbu maka hal tersebut akan memicu konflik yang lebih besar. Bahkan dikhawatirkan akan memicu Perang Nuklir. Krisis semakin memanas pada 27 Oktober 1962, ketika salah satu pesawat pengintai Lockheed U-2 Angkatan Udara Amerika Serikat yang diterbangkan oleh Mayor Rudolf Anderson ditembak jatuh ketika melakukan pengintaian di atas wilayah Kuba dan akibatnya pihak Militer terus mendorong Kennedy untuk segera mengambil tindakan pembalasan dengan segera menyerbu Kuba. Sayangnya Kennedy masih enggan untuk menyerbu Kuba dan pada akhirnya Kennedy dan Khruschev setuju untuk mengambil jalan keluar dari Krisis Misil Kuba ini dengan cara yang lebih damai, yaitu baik Amerika dan Soviet setuju untuk menarik rudalnya masing-masing, Soviet menarik rudalnya dari Kuba dan Amerika menarik rudalnya dari Turki pada enam bulan setelahnya. Banyak petinggi militer terutama Jenderal Curtis LeMay yang menganggap langkah Kennedy tersebut merupakan langkah yang sangat tidak tepat dan membuat Amerika terlihat kalah dalam krisis ini.