Mohon tunggu...
Erwindya Adistiana
Erwindya Adistiana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Learning by Experience

Penulis pemula yang tertarik pada hal-hal seperti sejarah, militer, politik dan yang lain-lannya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketika Militer Berada di Bawah Kendali Sipil

4 Maret 2022   17:55 Diperbarui: 4 Maret 2022   17:58 1193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Perthanan Donald Rumsfeld dan Ketua Kepala Staff Gabungan Jenderal George S. Brown | Sumber Gambar: catalog.archives.gov

Pada awal tahun 2021, tepatnya pada tanggal 1 Februari 2021, dunia sempat dihebohkan dengan aksi Kudeta yang terjadi di Myanmar, di mana pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi digulingkan dari kekuasannya melalui aksi Kudeta Militer oleh Jenderal Min Aung Hlaing dan merebut kepemimpinan Myanmar dari Aung San Suu Kyi. Mungkin cerita mengenai aksi-aksi seperti kudeta militer dan perebutan kekuasaan oleh militer sudah sangat sering kita dengar, terutama di negara berkembang yang mana militer masih memiliki pengaruh yang sangat besar. Namun pernah kah kita mendengar terdapat aksi Kudeta militer dan perebutan kekuasaan oleh militer di negara seperti Amerika Serikat? Walaupun kejadian seperti perebutan kekuasan oleh militer sempat digambarkan dalam film fiksi tahun 1964 berjudul “Seven Days in May.”

Benar, memang di negara seperti Amerika Serikat perebutan kekuasaan oleh Militer kemungkinan besar tidak akan bisa terjadi. Hal ini di karenakan karena pada tahun 1947 pemerintah Amerika Serikat mengesahkan Undang-Undang Keamanan Nasional Tahun 1947, di mana salah satu point terpenting dalam undang-undang tersebut adalah menyatakan bahwa Militer harus berada di bawah kendali Sipil atau yang biasa dikenal dengan “Civilian Control over the Military.” Walaupun menilisik balik sejarah Amerika dari tahun-tahun sebelumnya, memang kaum Sipil lebih banyak memiliki pengaruh dibanding Militer dan dengan disahkannya Undang-Undang Keamanan Nasional Tahun 1947, pengaruh Sipil dalam mengendalikan Militer semakin diperkuat, sehingga membuat ruang gerak Militer di Amerika Serikat sangat dibatasi dan juga dipengaruhi oleh Sipil.

Menteri Pertahanan Harold Brown dan Para Anggota Kepala Staf Gabungan | Sumber Gambar: jcs.mil
Menteri Pertahanan Harold Brown dan Para Anggota Kepala Staf Gabungan | Sumber Gambar: jcs.mil
Aturan ini memang memiliki sisi positif di mana ruang gerak Militer sangat di batasi sehingga menutup kemungkinan akan terjadinya perebutan kekuasaan oleh Militer atau yang biasa disebut dengan aksi “Kudeta.” Bahkan seseorang yang akan menjabat sebagai Menteri Pertahanan sekalipun juga harus dari kalangan sipil dan jika Presiden memilih seorang purnawirawan untuk menjabat sebagai Menteri Pertahanan, maka purnawirawan tersebut wajib untuk pensiun minimal tujuh tahun dari dinas aktif di militer. Jika belum pensiun selama tujuh tahun dari dinas aktif di militer maka purnawirawan yang ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan tersebut wajib mendapatkan waivers atau keringanan dari Kongress dan Senate Amerika Serikat guna memasuki proses konfirmasi di Senate untuk Senate dapat mengkonfirmasi purnawirawan tersebut guna menjabat sebagai Menteri Pertahanan.

Setelah Undang-Undang Keamanan Nasional Tahun 1947 disahkan, Departemen Pertahanan Amerika Serikat atau yang biasa dikenal sebagai “The Pentagon” dan posisi Menteri Pertahanan juga dibentuk, menggantikan posisi Menteri Urusan Peperangan. Departemen Pertahanan juga membawahi tiga Departemen Militer lainnya, yakni? Departemen Angkatan Udara, Departemen Angkatan Laut dan Juga Departmen Angkatan Darat yang mana tiap Departemen dipimpin oleh Menteri dari setiap Departemen, seperti contoh Departemen Angkatan Udara dipimpin oleh Menteri Angkatan Udara dan Menteri tiap Departemen sebagian besar berasal dari golongan Sipil. Sama seperti posisi Menteri Pertahanan, namun jika purnawirawan hendak menduduki posisi Menteri Angkatan Udara, Menteri Angaktan Laut atau Menteri Angkatan Darat, maka purnawirawan tersebut wajib untuk pensiun minimal lima tahun dari dinas militer atau tidak harus mendapatkan waivers juga dari Kongress dan juga Senate guna memasuki proses konfirmasi di Senate. 

Para Anggota Kepala Staff Gabungan dan Komandan Komando Combatant | sumber gambar: jcs.mil
Para Anggota Kepala Staff Gabungan dan Komandan Komando Combatant | sumber gambar: jcs.mil
Sedangkan di kubu Militer, Dewan Kepala Staff Gabungan atau yang biasa dikenal sebagai “Joint Chiefs of Staff (JCS)” juga dibentuk setelah disahkannya Undang-Undang Kemanan Nasional Tahun 1947, di mana Dewan ini diisi oleh petinggi-petinggi Militer seperti Kepala Staff dari setiap cabang Dinas Militer. Dua tahun kemudian pada tahun 1949 posisi Kepala Staff Gabungan atau yang biasa disebut sebagai “Chairman of The Joint Chiefs of Staff (CJCS)” juga dibentuk. Peran Ketua Kepala Staff Gabungan adalah menjadi penasihat Militer utama untuk Presiden, Menteri Pertahanan dan juga Dewan Keamanan Nasional. Posisi ini selalu diduki oleh Jenderal Bintang Empat dari tiap cabang dinas militer.

Namun di sisi lain aturan ini juga menuai banyak polemik, di mana menurut kalangan Militer, aturan ini membuat kaum Sipil seperti Politikus sangat dominan terhadap Militer baik dalam pengambilang keputusan perihal Peperangan, Operasi Militer bahkan anggaran Militer sekalipun. Akibat aturan ini Militer dan sipil sering kali berselisih dalam hal-hal penting seperti pengambilan keputusan di masa perang. Hal ini dikarenakan bahwa aturan ini mengharuskan semua keputusan Militer harus disetujui oleh para kaum Sipil atau yang biasa disebut sebagai atasan Sipil mereka. Bahkan tidak jarang karena protes akibat dari keputusan Militer yang diambil oleh atasan sipil mereka, banyak anggota Militer yang protes dan bahkan berujung pada pengunduran diri atau dibebas tugaskannya mereka dari dinas Militer sejak di berlakukannya Undang-Undang Keamanan Nasional Tahun 1947.


Militer VS. Sipil

Menteri Urusan Peperangan Henry L. Stimson dan KASAD Jenderal George C. Marshall | Sumber Gambar: mbe.doe.gov
Menteri Urusan Peperangan Henry L. Stimson dan KASAD Jenderal George C. Marshall | Sumber Gambar: mbe.doe.gov
Peristiwa perselisihan awal antara Militer dan Sipil mungkin dapat dilihat kembali pada tahun 1945 pada saat perang dunia kedua atau dua tahun sebelum diberlakukannya Undang-Undang Keamanan Nasional Tahun 1947, di mana pada saat pengambilan keputusan untuk memilih kota di Jepang yang akan menjadi target dijatuhkannya Bom Atom. Salah satu kota yang hendak dijadikan sasaran sebenarnya adalah Kyoto, di mana menurut informasi intelijen banyak industri dan pabrik-pabrik yang berlokasi di Kyoto dan Kota tersebut memang belum pernah di bom oleh sekutu sama sekali. Keputusan untuk menjatuhkan Bom Atom di Kyoto juga disetujui oleh para Jenderal petinggi Militer, namun keputusan untuk menjatuhkan Bom Atom di Kyoto ditolak secara tegas oleh Menteri Urusan Peperangan pada waktu itu, Henry L. Stimson.

Menurut Stimson, Kyoto merupakan salah satu kota terindah di Jepang di mana banyak Situs Warisan Dunia di kota tersebut dan Stimson pun juga pernah menunjungi Kyoto dan sangat terpesona dengan Kota tersebut yang menurutnya sangatlah autentik. Alhasil dihapus lah Kyoto dari daftar sasaran Bom Atom. Hal ini diketahui membuat geram beberapa petinggi Militer seperti salah satunya ketua proyek pembuatan Bom Atom atau “Proyek Manhattan” Mayor Jenderal Leslie Groves yang sempat berkata bahwa “Militer sangat-lah didominasi oleh Sipil, bahkan kita pun tidak bisa menentukan target kita sendiri.”

Lalu pasca pemberlakuan undang-undang keamanan nasional tahun 1947, perselisisihan antara sipil dan militer yang lebih hebat pun terjadi. Bahkan perselisihan ini tidak hanya melibatkan militer dan petinggi sipil, melainkan perselisihan yang juga melibatkan antar cabang dinas militer. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1949 di mana beberapa Laksamana dari Angkatan Laut Amerika Serikat memprotes besar-besaran karena kebijakan yang diambil oleh Menteri Pertahanan pada saat itu, Louis A. Johnson. Peristiwa yang dikenal sebagai “Revolt of the Admirals” ini terjadi karena keputusan Menhan Johnson yang ternyata juga disetujui oleh Presiden Harry S. Truman untuk membatalkan proyek Kapal Induk Super terbaru untuk armada Angkatan Laut Amerika Serikat, yaitu U.S.S. United States (CVA-58) dan megalokasikan dana untuk Kapal Induk U.S.S. United States ini untuk pengadaan pesawat bomber strategis jarak jauh Angkatan Udara Amerika Serikat, yaitu B-36 Peacemaker. Apalagi mengingat peran penting kapal induk pada saat perang dunia kedua sehingga Angkatan laut Amerika Serikat membutuhkan Kapal Induk yang jauh lebih besar dan lebih canggih dari Kapal Induk yang digunakan pada saat Perang Dunia Kedua.

Sketsa Kapal Induk U.S.S. United States (CVA-58) | Sumber gambar: nara.getarchive.net
Sketsa Kapal Induk U.S.S. United States (CVA-58) | Sumber gambar: nara.getarchive.net
Pesawat Bomber Strategis Convair B-36 Peacemaker | Sumber Gambar: nationalmuseum.af.mil
Pesawat Bomber Strategis Convair B-36 Peacemaker | Sumber Gambar: nationalmuseum.af.mil
Ironisnya Proyek U.S.S. United States ini sebenarnya disetujui oleh Menteri Pertahanan yang sebelumnya, James Forrestal, namun karena perselisihan antara Forrestal dan Truman, Forrestal pun diberhentikan dari posisinya sebagai Menteri Pertahanan oleh Presiden Truman dan digantikan oleh Louis A. Johnson. Usut punya usut, Johnson pun juga diketahui pernah menjabat sebagai Direktur pada jajaran dewan Direksi di perusahaan produsen pesawat terbang Convair, yang mana merupakan perusahaan produsen pesawat yang memenangkan kontrak untuk pembuatan pesawat bomber strategis B-36 Peacemaker. Akibatnya banyak perwira di Angkatan Laut yang memprotes keputusan Pemerintahan Truman untuk membatalkan U.S.S. United States ini, bahkan banyak diantara mereka yang juga tidak segan-segan untuk mengundurkan diri. Kepala Staff Angkatan Laut Laskamana Louis E. Denfeld juga terus mengusahakan segala upaya agar proyek Kapal Induk U.S.S. United States kembali disetujui.

Namun sayangnya segala usaha tersebut sia-sia, Denfeld justru diberhentikan dari posisinya sebagai Kepala Staff Angkatan Laut oleh Menteri Angkatan Laut Francis P. Matthew dengan tuduhan pembangkangan dan tidak patuh dengan atasan dan Proyek Kapal Induk U.S.S. United States pun dibatalkan dan Angkatan Udara Amerika Serikat mendapatkan pesawat bomber jarak jauhnya, Convair B-36 Peacemaker.

Pada saat Perang Korea pecah pada 25 Juni, 1950, juga masih diwarnai oleh konflik antara sipil dan militer. Pada tahap awal peperangan pemerintahan Truman berusaha untuk mempertahankan Korea Selatan dari serangan lebih lanjut dari Korea Utara, dengan mengambil langkah yaitu memblokade perairan Korea Utara. Namun kali ini justru giliran pihak Angkatan Laut yang menuduh pemerintahan Truman tidak serius akan rencana blokade perairan Korea Utara ini, dikarenakan keterbatasannya armada Angkatan Laut untuk melakukan blokade akibat dari pemotongan anggaran Angkatan Laut terutama untuk Proyek kapal baru angkatan laut, salah satunya U.S.S. United States, dan yang mana anggaran tersebut dialokasikan untuk Angkatan Udara guna proyek pesawat bomber B-36 Peacemaker. Tetapi mustahil untuk memblokade perairan menggunakan pesawat dan blokade jauh lebih efektif dengan Kapal. Akibatnya Presiden Truman pun memecat Menteri Pertahanan Louis Johnson karena dianggap gagal dalam mencegah serangan Korea Utara terhadap Korea Selatan dan gagalnya kebijakannya pada saat Perang Korea. Di sisi lain pemerintahan Presiden Truman pada akhirnya juga menyetujui proyek Kapal Induk Super untuk Angkatan Laut dan pada tahun 1951 Kongress Amerika Serikat menyetujui dana untuk membangun Kapal Induk Super pertama Angkatan Laut Amerika Serikat, U.S.S. Forrestal (CV-59) yang diambil dari nama Menteri Pertahanan Amerika Serikat yang pertama yang juga merupakan Menteri Angkatan Laut, James Forrestal.

Menteri Pertahanan George C. Marshall dan Jenderal Matthew P. Ridgway | Sumber gambar: stripes.com
Menteri Pertahanan George C. Marshall dan Jenderal Matthew P. Ridgway | Sumber gambar: stripes.com
Sebagai ganti Johnson, Truman menunjuk Jenderal besar George Catlett Marshall, yang merupakan mantan Menteri Luar Negeri dan juga arsitek dari kemenangan Amerika Serikat pada Perang Dunia kedua, sebagai pengganti Johnson sebagai Menteri Pertahanan. Namun karena Marshall merupakan Jenderal bintang lima, secara teknis Jenderal Bintang Lima tidak pernah pensiun dari Dinas Militer dan mendapatkan posisi seumur hidup di Dinas Militer, walaupun tidak sedang menjabat posisi di Militer. Akibatnya karena Marshall belum pensiun selama periode waktu Tujuh Tahun yang merupakan syarat bagi perwira militer untuk menjabat sebagai Menteri Pertahanan berdasarkan aturan Civilian Control over the Military dan Undang-Undang Keamanan Nasional 1947, maka Marshall harus mendapatkan waiver atau permohonan dari Kongress dan Senat agar dapat persetujuan untuk pencalonan sebagai Menteri Pertahanan. Pada akhirnya Senat AS pun menyetujui pencalonan Marshall sebagai Menteri Pertahanan, mengingat prestasi Marshall pada saat Perang Dunia kedua dan diharapkan bisa melakukan hal yang pada Perang Korea.

Namun perselisihan sengit antara militer dan sipil pun kembali terjadi pada saat Perang Korea. Pada September 1950, Pasukan koalisi Perserikatan Bangsa Bangsa di bawah komando salah satu Jenderal legendaris Amerika Serikat yang sangat terkenal karena perannya dalam mengalahkan Jepang pada Perang Dunia Kedua, yaitu Jenderal Douglas MacArthur, berhasil merebut kembali Ibukota Korea Selatan Seoul yang pada waktu itu sempat berhasil diduduki oleh Pasukan Korea Utara, pada misi pendaratan pasukan yang terkenal di Inchon atau yang dikenal sebagai “Battle of Inchon.”

Sayangnya pada tahun 1951, pertempuran di Korea sepertinya kian memanas apalagi pada Januari 1951 di mana Seoul kembali jatuh ke tangan pasukan Korea Utara atas bantuan dari pasukan Republik Rakyat Cina atau RRC. Walaupun pasukan MacArthur berhasil merebut kembali Seoul pada Maret 1951, namun sepertinya MacArthur justru ingin memperluas pertempuran di semenanjung Korea. MacArthur tidak hanya ingin memperluas penyerangan hingga Pyongyang, tetapi bahkan MacArthur juga ingin memperluas penyerangan hingga wilayah RRC. Menanggapi hal ini, Truman sangatlah tidak setuju dengan rencana MacArthur untuk memperluas penyerbuan, dikarenakan Truman khawatir jika nantinya akan menyebabkan pertempuran yang lebih besar dan bahkan dapat memicu Perang berskala Perang Dunia, akibat diperluasnya penyerbuan dan dapat melibatkan secara langsung tidak hanya dengan pasukan Korea Utara, tetapi juga dengan pasukan Uni Soviet dan RRC. Mendengar hal itu MacArthur sangatlah kecewa dengan keputusan Truman yang menolak usulannya untuk memperluas penyerbuan, bahkan MacArthur secara terang-terangan menunjukan ketidaksetujuannya dengan kebijakan Truman pada Perang Korea ini dan bahkan akan melancarkan aksinya sendiri baik disetujui atau tidak oleh Truman. Takut akan pecahnya perang yang lebih besar, Presiden Truman dan Menteri Pertahanan George Marshall pun tidak memiliki pilihan lain selain membebastugaskan MacArthur dari posisinya sebagai Komandan Pasukan koalisi Perserikatan Bangsa Bangsa di Korea.

Jenderal Douglas MacArthur ketika memimpin pendaratan Inchon | Sumber gambar: nara.getarchive.net
Jenderal Douglas MacArthur ketika memimpin pendaratan Inchon | Sumber gambar: nara.getarchive.net
Pada 11 April 1951, Jenderal Douglas MacArthur secara resmi dibebastugaskan dari posisinya sebagai komandan pasukan koalisi Perserikatan Bangsa Bangsa di Korea. Ironisnya Truman dan orang-orang dalam pemerintahan Truman yang disebut-sebut memiliki peran dalam pemecatan Jenderal MacArthur, justru mendapatkan penghinaan dan cacian besar-besaran dari khalayak luas bahkan dari kubu oposisi di Senat dan Kongress sekalipun. Hal itu disebabkan karena banyak khalayak yang percaya bahwa MacArthur lah orang yang dapat menyelesaikan masalah pada Perang Korea dan juga bisa diandalkan dalam membendung ancaman dari Komunis lebih lanjut, tanpa menyadari jika Truman telah menyelamatkan dunia dari konflik yang dapat memicu Perang Dunia Kedua. Akibatnya nilai peringkat persetujuan Truman pun merosot drastis dan Truman memutuskan untuk tidak maju lagi sebagai Presiden Amerika Serikat pada Pemilihan Presiden tahun 1952, yang mana pada akhirnya dimenangkan oleh sesama Jenderal Bintang Lima yang legendaris dan terkenal karena perannya yang pada akhirnya membawa kekalahaan Jerman pada saat Perang Dunia Kedua, yaitu Jenderal Dwight David Eisenhower, yang menjabat Presiden dari tahun 1953 hingga 1961.

President Kennedy dan KASAU Jenderal Curtis LeMay dan beberapa penasihat militernya | Sumber Gambar: catalog.archives.gov
President Kennedy dan KASAU Jenderal Curtis LeMay dan beberapa penasihat militernya | Sumber Gambar: catalog.archives.gov
Pada Oktober 1962, pesawat pengintai Angkatan Udara Amerika Serikat, Lockheed U-2 mendapatkan gambar yang menunjukan jika Uni Soviet menempatkan rudal balistik mereka di suatu daerah di Kuba yang pada saat itu berada di bawah pemerintahan Fidel Castro yang merupakan sekutu terkuat Uni Soviet di daerah Karibia. Keberadaan rudal ini sangat mengancam Amerika Serikat karena posisinya yang mengarah persis langsung menuju Amerika Serikat. Peristiwa yang dikenal sebagai “Cuban Missile Crisis” ini merupakan tanggapan dari Pemimpin Uni Soviet Nikita Khruschev karena Amerika yang menempatkan rudal Jupiter mereka di Turki. Alhasil hal ini pun membuat Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy berang dan berusaha mengambil langkah lebih lanjut agar Soviet mau menarik rudalnya dari Kuba.

Tetapi sayangnya Kennedy menolak usulan dari para petinggi militer untuk segera menyerbu Kuba. Para petinggi Militer terus mendesak agar Kennedy mengambil langkah lebih lanjut untuk segera menyerbu Kuba dan pusat instalasi rudal Uni Soviet di Kuba. Salah satunya yang terus mendesak Kennedy untuk menyerbu Kuba adalah Kepala Staff Angkatan Udara Jenderal Curtis LeMay yang mana LeMay terus mendorong agar Kennedy segera memberinya persetujuan untuk segera mengerahkan pesawat-pesawat Angkatan Udara Amerika Serikat untuk mengebom instalasi rudal Soviet di Kuba. Ironisnya Kennedy terus enggan akan usulan tersebut. Seperti halnya yang dihadapi oleh Presiden Truman pada saat Perang Korea, Presiden Kennedy khawatir jika Kuba diserbu maka hal tersebut akan memicu konflik yang lebih besar. Bahkan dikhawatirkan akan memicu Perang Nuklir. Krisis semakin memanas pada 27 Oktober 1962, ketika salah satu pesawat pengintai Lockheed U-2 Angkatan Udara Amerika Serikat yang diterbangkan oleh Mayor Rudolf Anderson ditembak jatuh ketika melakukan pengintaian di atas wilayah Kuba dan akibatnya pihak Militer terus mendorong Kennedy untuk segera mengambil tindakan pembalasan dengan segera menyerbu Kuba. Sayangnya Kennedy masih enggan untuk menyerbu Kuba dan pada akhirnya Kennedy dan Khruschev setuju untuk mengambil jalan keluar dari Krisis Misil Kuba ini dengan cara yang lebih damai, yaitu baik Amerika dan Soviet setuju untuk menarik rudalnya masing-masing, Soviet menarik rudalnya dari Kuba dan Amerika menarik rudalnya dari Turki pada enam bulan setelahnya. Banyak petinggi militer terutama Jenderal Curtis LeMay yang menganggap langkah Kennedy tersebut merupakan langkah yang sangat tidak tepat dan membuat Amerika terlihat kalah dalam krisis ini.

Menteri Pertahanan Robert McNamara dan Kepala Staff Angkatan Udara Jenderal Curtis LeMay | Sumber Gambar: stripes.com
Menteri Pertahanan Robert McNamara dan Kepala Staff Angkatan Udara Jenderal Curtis LeMay | Sumber Gambar: stripes.com
Ketika konflik di Vietnam semakin memanas paca serangan terhadap Kapal Perang Amerika Serikat di Teluk Tonkin pada Agustus 1964, Presiden Amerika Serikat Lyndon Johnson pada akhirnya mengambil langkah lebih lanjut yang pada akhirnya memicu keterlibatan Amerika Serikat pada Perang Vietnam. Tetapi sayangnya langkah Johnson juga banyak dikritik oleh petinggi Militer. Seperti contoh dalam menanggapi serangan Teluk Tonkin, Presiden Johnson memutuskan untuk memulai pengeboman terhadap beberapa wilayah di Vietnam Utara dalam operasi yang dikenal sebagai “Operation Rolling Thunder” tetapi pengeboman dilakukan secara bertahap atau yang disebut “gradual pressure.” Jenderal Curtis LeMay kembali mengkritik langkah Presiden Lyndon B. Johnson yang menganggapnya tidak efektif untuk meredam ancaman dari Vietnam Utara. Jenderal LeMay bahkan terang-terangan menyebut langkah ini sebagai tidak masuk akal. Alhasil Johnson pun pada akhirnya merombak beberapa petinggi Militer dan mengganti mereka dengan orang-orang yang lebih tunduk akan kebijakan Johnson dalam Perang Vietnam.  

Selama Perang Vietnam perselisahan antara sipil dan militer terus terjadi. Hal ini banyak disebabkan oleh ketidaksetujuan pihak militer dengan kebijakan-kebijakan Presiden Lyndon B. Johnson dan juga Menteri Pertahanan Robert McNamara dalam menangani Perang Vietnam. Puncak dari perselisihan ini terjadi pada tahun 1968 di mana sebagian besar anggota dari Joint Chiefs of Staff atau Kepala Gabungan Militer berencana untuk melakukan pengunduran diri secara masal akibat dari kekecewaan mereka setelah kesaksiaan McNamara dihadapan Senat AS yang dianggap sangat mengecewakan dan seperti memberi angin untuk pihak musuh. Perang Vietnam yang berlangsung dari tahun 1964 hingga 1973 di mana pasukan tempur Amerika Serikat mulai ditarik dan secara resmi berakhir pada akhir April 1975 ketika pasukan Vietnam Utara berhasil menduduki Ibukota Vietnam Selatan, Saigon, penuh dengan perselisihan antara militer dan sipil akibat dari perbedaan pendapat antara Militer dan Sipil. Banyak pihak yang mengganggap konflik inilah yang menjadi akibat dari kegagalan Amerika pada Perang Vietnam. Hal inilah yang mengilhami Letnan Kolonel Herbert Raymond McMaster yang kelak menjadi Letnan Jenderal dan juga penasihat keamanan Nasional pada era Presiden Trump untuk menulis buku mengenai kegagalan akan Perang Vietnam yang diakibatkan karena perselisihan antara kubu sipil dan militer yang berjudul “Dereliction of Duty: Lyndon Johnson, Robert McNamara, the Joint Chiefs of Staff, and the Lies That Led to Vietnam” yang diterbitkan pada tahun 1997 dan merupakan buku wajib baca dikalangan militer Amerika Serikat.

Ketua Kepala Staff Gabungan Jenderal David C. Jones | Sumber Gambar: nara.getarchive.net
Ketua Kepala Staff Gabungan Jenderal David C. Jones | Sumber Gambar: nara.getarchive.net
Pada tahun 1980 setelah kegagalan operasi penyelamatan Sandera Amerika di Iran, Ketua Kepala Staff Gabungan pada saat itu, Jenderal David C. Jones melihat perbedaan pendapat dan selisih antara petinggi militer dan atasan sipil mereka lah sebagai kendala yang terus mengakar pada tubuh militer. Berdasarkan pengalaman Jenderal Jones dalam menangani beberapa operasi militer yang terkendala perbedaan pendapat antara militer dan sipil, Jenderal Jones menegaskan akan pentingnya suatu reformasi pada tubuh militer yang dapat memberi ruang gerak yang lebih luas kepada kubu militer dan selalu bergantung dengan keputusan dari atasan sipil mereka. Berkat usaha dan jasa Jenderal David C. Jones inilah, Senat Amerika Serikat pada tahun 1986 pada akhirnya mengesahkan Undang-Undang Reformasi dan Reorganisasi Departemen Pertahanan atau yang dikenal sebagai Goldwater-Nichols Act of 1986. Undang-Undang inilah yang pada akhirnya memberi ruang gerak yang lebih luas kepada Militer.

Presiden Barack Obama dan Jenderal Stanley McChrystal | Sumber Gambar: catalog.archives.gov
Presiden Barack Obama dan Jenderal Stanley McChrystal | Sumber Gambar: catalog.archives.gov
Tetapi walaupun sudah disahkannya undang-undang yang memberi ruang gerak yang lebih luas kepada kubu Militer agar tidak selalu bergantung pada keputusan dari atasan sipil mereka, perselisihan antara Militer dan Sipil masih saja terus terjadi akibat kuatnya peraturan “Civilian Control over the Military.” Beberapa kejadian perwira militer yang dibebastugaskan karena berbeda pendapat dengan atasan sipil mereka terus terjadi. Seperti di tahun 1990 ketika Kepala Staff Angkatan Udara Amerika Serikat Jenderal Michael Dugan dibebastugaskan karena sudah berbicara mengenai strategi yang dianggap masih dalam tahap diskusi kepada wartawan. Hal yang sama juga terjadi pada Komandan tentara Amerika Serikat di Afghanistan Jenderal Stanley McChrystal yang juga berbicara hal yang dianggap tidak wajar mengenai pemerintahan Presiden Barack Obama dan strateginya dalam Perang di Afghanistan kepada wartawan majalah Rolling Stone.

Pada saat Perang di Afghanistan dan Iraq perselisihan terhadap strategi Militer antara Militer dan Sipil juga terus terjadi akibat perbedaan pendapat antara kedua belah pihak. Puncaknya adalah ketika penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan pada Agustus 2021 yang mana berakhir dengan kekacauaan akibat kembalinya pihak Taliban yang berhasil merebut kembali Afghanistan dan ibukota Afghanistan, Kabul, setelah tersingkir dari Afghanistan pada saat awal penyerbuan Afghanistan di tahun 2001 pasca serangan teroris 11 September.  Banyak pihak yang menuduh jika pemerintahan Biden sangatlah lalai dalam hal ini dan dianggap mengabaikan peringatan dari pihak militer akan ancaman Taliban yang akan merebut kembali Afghanistan jika pasukan AS ditarik mundur dari Afghanistan. Akibatnya banyak pihak yang meminta supaya orang-orang di pemerintahan Biden terutama Ketua Kepala Gabungan untuk mundur dari posisinya akibat dari kelalaiian penarikan mundur pasukan Amerika Serikat di Afghanistan apalagi setelah insiden pengeboman di Bandara Kabul yang menewaskan 13 Tentara Amerika.

Peraturan akan kendali Sipil terhadap Militer memang terkadang membawa hal positif guna mencegah ancaman dari gerakan seperti Kudeta Militer dan perebutan kekuasaan militer secara illegal lainnya. Namun aturan ini juga masih memberi tanda tanya besar akan bagaimana akibatnya jika ketika terjadi perbedaan pendapat besar antara kubu militer dan kubu sipil, terutama ketika negara dihadapkan oleh krisis yang harus melibatkan militer seperti ketika terjadinya perang. Karena secara notabene kubu sipil memiliki sudut pandang yang berbeda yang terkadang tidak dapat diterima dengan gampang oleh kubu militer.

Sumber Artikel:

Perry, Mark (March 1, 1989). Four Stars: The Inside Story of The Forty-Year Battle Between The Joint Chiefs of Staff and America's Civilian Leaders. Houghton Mifflin Harcourt. ISBN 978-0395429235.

Reareden, Steven (July 30, 2012). Council of War: A History of the Joint Chiefs of Staff, 1942-1991. Military Bookshop. ISBN: 978-1780398877

https://www.smithsonianmag.com/air-space-magazine/b-36-bomber-at-the-crossroads-134062323/

https://www.airforcemag.com/article/the-revolt-of-the-admirals/

https://www.nytimes.com/2020/10/01/us/politics/stanley-mcchrystal-biden.html

https://www.reuters.com/world/last-us-forces-leave-afghanistan-after-nearly-20-years-2021-08-30/

https://www.nytimes.com/2013/08/15/us/gen-david-c-jones-former-joint-chiefs-chairman-is-dead-at-92.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun