Mohon tunggu...
Irfaan Sanoesi
Irfaan Sanoesi Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar seumur hidup

Senang corat-coret siapa tahu nama jadi awet

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggugat Dalil-dalil Jihad di Majalah ISIS Al-Fatihin

4 Juni 2018   13:28 Diperbarui: 4 Juni 2018   13:53 1975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara sederhana Islam radikal adalah paham atau aliran yang menghendaki perubahan secara drastis. Inti dari dari perubahan itu cenderung menggunakan kekerasan. Islam radikal ini cenderung memiliki teologi radikal yang dapat memicu dan memacu kepada tindakan kekerasan. Dalam sejarah Islam, kelompok ini diwakili oleh kelompok Khawarij yang cenderung mudah mengafirkan kelompok muslim yang tidak sepaham dan sealiran dengan mereka dan menghalalkan darah mereka yang tidak sepaham dengannya.

Praktik radikalisasi agama bisa bermula dari teologi radikal. Mereka seolah menganulir penafsiran ayat-ayat damai secara tidak utuh, sehingga berimplikasi dalam tindakan radikal berkedok jihad yang secara langsung atau tidak, menjustifikasi secara keliru kekerasan atas nama Al-Qur'an. 

Pemahaman mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, seringkali mengabaikan latar belakang dan konteks munculnya ayat. Pemahaman yang tekstual dan 'kaku' ini, serta menganggap bahwa penafsirannya seolah menjadi satu-satunya "juru bicara" Tuhan, dijadikan pijakan bagi sejumlah kelompok radikal, termasuk para teroris di Indonesia untuk melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama agama. 

Pendek kata, sejauh tafsir terhadap Islam itu bersifat literal, tekstual dan radikal, maka sejauh itu pula dapat memengaruhi sikap dan tindakan sosial politik para penganjurnya. Tafsir pro kekerasan inilah yang sering dipakai gerakan teroris di Indonesia, sebagaimana ditunjukkan oleh majalah al-Fatihin yang diterbitkan oleh kelompok teroris ISIS. 

Dalam edisi ke-10 yang penulis dapatkan di medsos dan beredar di beberapa group WhatsApp, ISIS mengglorifikasi kerusuhan di Mako Brimob serta aksi bom bunuh diri yang dilakukan di Surabaya. Majalah ini walaupun telah diblokir oleh Kominfo menunjukkan bahwa ISIS sangat concern dengan pembentukan opini melalui jalui media sosial.

Dalam majalah tersebut disebutkan doktrin pemahaman dan ajaran mereka antara lain sebagai berikut: 

Pertama, membentuk Pemerintah Islam sebagai kewajiban syariat Islam yang mutlak. 

Kedua, pemerintah yang tidak berdasarkan syariat dianggap tidak sah dan dianggap kafir meski dibentuk kaum muslim. 

Ketiga, wajib oposisi terhadap pemerintah yang tidak berdasar Islam. 

Keempat, wajib jihad (dalam pemahaman mereka jihad adalah memerangi) pemerintah yang tidak berdasar Islam. 

Kelima, kaum Kristen dan Yahudi bukanlah ahli kitab dan dianggap sebagai rekanan dalam sebuah konspirasi melawan Islam dan dunia Islam.

Dari  indikator-indikator di atas, tampaknya model keberagamaan mereka memang cenderung intoleransi, dan menginginkan tegaknya Islam formalis (baca: khilafah) dan cenderung menggunakan aksi-aksi kekerasan seperti kasus bom bunuh diri di Surabaya baru---baru ini, untuk memaksakan kehendaknya. 

Jika boleh ditambahkan, ada satu ciri lain terkait dengan pemahaman al-Qur'an dan hadis yang digunakan di kalangan mereka yaitu; tekstualis, skriptualis bahkan kadang Arab sentris. Itu sebabnya lalu muncul paham-paham dari kelompok Islam radikal itu anti-Pancasila, anti-Demokrasi dan anti-NKRI sebab itu buatan manusia. 

Mereka menafikan bahwa nilai-nilai Pancasila sebenarnya bagian dari tafsir atau pemahaman berbasis Al-Qur'an dan Hadis yang dijadikan pedoman bagi bangsa Indonesia yang multikultur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan Grand Syeikh Al-azhar Mesir, Ahmad Mohamad At-Tayeb mengatakan bahwa Pancasila tidak hanya sejalan dengan ajaran Islam, melainkan justru merupakan esensi dari nilai-nilai ajaran Islam.

Di sinilah tugas dan tantangan para dosen, muballigh serta guru agama dewasa ini. Semua itu, menurut hemat penulis salah satunya disebabkan oleh model tafsir yang cenderung radikalis, tekstualis dan parsial, disamping tentu ada faktor-faktor lain, seperti politik, ideologi dan juga ekonomi.

Berikut ini penulis tampilkan beberapa ayat yang berpotensi mendorong perilaku radikal dan kekerasan sebagaimana digunakan untuk pembenaran terhadap aksi bom bunuh diri yang mereka sebut sebagai bentuk amaliyah dan istisyhadiyah. 

Ayat-ayat al-Qur'an ini dikutip oleh Majalah Al-Fatihin yang ditafsirkan secara tekstualis dan dimaknai dan dipahami secara parsial, tidak mempertimbangkan ayat lain dan konteks turunnya ayat.

Ayat pertama;

Perangilah orang-orang musyrik secara keseluruhan, sebagaimana mereka telah memerangi kalian secara keseluruhan. (Q.S. at-Taubah/9: 36)

Pemahaman tekstual ayat ini dapat berpotensi melahirkan tindakan kekerasan, manakala orang lalu mendefinisikan orang musyrik dengan mereka yang tidak seakidah dan seiman dengan semena-mena. Lalu dengan serta merta mereka boleh diperangi dan dibunuh.  Padahal kalau dicermati dari analisis kebahasaan, jelas bahwa redaksi ayat itu menggunakan bentuk musyarkah yakni "waqtil." 

Yakni bahwa umat Islam disuruh memerangi orang kafir, manakala mereka memerangi umat Islam. Ketika mereka tidak memerangi, maka umat Islam tidak boleh memerangi mereka. Maka, apa yang disebut perang dalam Islam, sebenarnya cenderung bersifat defensif mempertahankan diri, manakala kita diserang, bukan ofensif (menyerang lebih dahulu). Dilihat dari segi konteks turunnya ayat itu juga jelas, yaitu bahwa orang-orang kafir waktu itu memerangi para sahabat Nabi. Meski demikian, Al-Qur'an juga menegaskan bahwa dalam memerangi mereka tidak boleh berlebihan sebagaimana firman Allah:

Perangilah dijalan Allah, orang-orang yang memerangi kalian, dan janganlah kalian berlebihan (dalam memerangi mereka). Sesungguhnya Allah Swt tidak menyukai orang-orang berbuat berlebihan. (Q.S. al-Baqarah/2: 190)

Ayat tersebut turun di Madinah, yang isinya memerintahkan kepada Nabi dan para sahabat, supaya memerangi orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin, dan melarang mereka yang tidak memerangi mereka. Maka dalam ayat itu ada perintah walta'tad (Jangan kalian berlebihan dalam memerangi). Maksudnya, jangan memerangi  mereka  yang  tidak  memerangi,  termasuk  para perempuan  dan  anak-anak. Jadi,  pengertian  memerangi  orang musyrik, bukan berarti memerangi setiap orang yang berbuat syirik, lalu ia boleh kita bunuh atas dasar ayat  Q.S . at- Taubah/9: 36 tersebut. Pemahaman tentang konsep perang dalam perspektif Al-Qur'an juga akan lebih akurat manakala kita mencermati redaksi ayat yang pertama mengizinkan perang, yaitu;

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu 40. (yaitu) orang -orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah -rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong  orang  yang  menolong  (agama) -Nya.  Sesungguhnya  Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa. (Q.S. al-ajj/22: 39)

Ayat tersebut yang pertama kali turun tentang izin berperang, yang ketika itu konteksnya kaum muslim dizalimi oleh kaum musyrik Mekah. Terjadi agresi dan pengusiran terhadap kaum muslim. Nabi pun sebenarnya tidak mau berperang, namun karena ada izin, baru "terpaksa" beliau berperang. 

Jadi, karakter dasar Islam adalah damai, kalaupun harus ada perang, itu lebih disebabkan karena mempertahankan diri, sebab umat Islam dizalimi. Jadi, sebenarnya pesan moral dari ayat tersebut, bukan perintah perang itu sendiri, melainkan bagaimana menghapuskan praktik kezaliman (penindasan), menegakkan kebebasan beragama, dan membangun perdamaian. Perang bukanlah tujuan itu sendiri, sebab tujuannya adalah perdamaian itu sendiri. Sehingga ketika ada jalan lain untuk menciptakan perdamian tanpa peperangan, maka kita tetap harus menempuh jalan perdamaian.

Celakanya, mereka yang suka melakukan kekerasan, cenderung memahami situasi sekarang sebagai situasi perang, sehingga pesan Al-Qur'an tentang perdamaian peaceful Islam, justru tereliminasi. Akibatnya, muncul aksi-aksi pengeboman di tempat-tempat gereja, diskotik dan hotel. Ayat-ayat yang berkaitan dengan perdamaian itulah harus menjadi tujuan utama untuk menebar nilai-nilai Islam damai. 

Jika dulu jihad banyak dilakukan dengan cara mengangkat senjata, maka sepatutnya jihad sekarang justru dilakukan untuk melawan kemiskinan, kebodohan, korupsi dan berbagai tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Bagaimanapun jihad sangat penting untuk meningggikan kalimah Allah, dalam rangka menegakkan keadilan dan perdamaian demi menjujung nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

Ayat kedua

"Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian dalam "Islam" secara keseluruhan dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan syaitan, sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kalian." (Q.S. al-Baqarah/2: 208)

Ayat tersebut sering dijadikan justifikasi untuk menerapkan sistem Islam secara "formal" yang harus diterapkan secara totalitas dalam setiap kehidupan umat Islam. Maka lalu muncul teori al-Islm dn wa daulah, Islam adalah agama dan negara. Tafsir seperti itu dapat berimplikasi kepada penolakan hukum-hukum produk manusia, atau sistem negara yang dianggap tidak berdasarkan Islam, bahkan negara yang seperti itu dianggap sebagai negara tgt, yang harus dilawan. 

Mereka memperkuat dengan ayat, wa man lam yahkum bi m anzala Allh fa ul'ika hum al-kfirn (al-M'idah/5: 44), yang arti harfiahnya, "Barangsiapa menetapkan hukum atau memerintah dengan selain yang diturunkan Allah, maka mereka adalah kafir." Padahal ayat itu konteksnya adalah mengkritik ketika orang-orang Yahudi yang tidak menerapkan hukum yang ada di kitab Taurat. Sebagai implikasinya golongan Islam radikal juga mengkritik sistem demokrasi, dan memandangnya sebagai jahiliyah modern dan bahkan kekafiran baru yang harus dilawan.

Di sinilah hemat penulis, Islam moderat yang berbasis pada nilai rahmtan li al-'lamn menemukan relevansinya untuk konteks keindonesiaan. Menjadi seorang muslim yang baik, tidak harus anti nasionalisme, anti pancasila dan anti NKRI.

 Islam dan negara bisa bersimbiosis mutualistik. Pancasila dan Al-Qur'an tidak perlu dipertentangkan, keduanya dapat berjalan seiring dan harmoni. Tidak perlu ada formalisasi negara Islam, tetapi bukan berarti negara anti agama Islam, melainkan ruh ajaran Islam harus mampu memberi ruh/spirit dalam tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendek kata, jalan tengah dan moderasi beragama menjadi pilihan tepat dalam kontek keberagaman di Indonesia.

Agama seolah-olah telah dijadikan licence to kill (surat ijin untuk membunuh) orang lain karena perbedaan ideologi atau keyakinan. Padahal Islam telah mendeklarasikan dirinya sebagai agama rahmtan li al-lamn (Q.S. al-Anbiy'/21: 107) dan memberikan jaminan kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan (Q.S. al-Baqarah/2: 256). 

Praktik keseharian yang dicontohkan Nabi juga meneguhkan akan visi dan misi Islam sebagai agama yang humanis, toleran dan beradab. Ketika terjadi Fath Makkah, beliau telah menujukkan sikap yang humanis, tidak ada balas dendam, apalagi kesewenang-wenangan. Demikian pula ketika di Madinah, beliau telah membuat piagam Madinah yang mencerminkan nilai-nilai toleransi terhadap nonmuslim, terutama kaum Yahudi.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam proses perjalanan sejarah umat Islam berikutnya, telah terjadi konflik dan kekerasan, baik yang dipicu oleh pertikaian qablah (suku dan etinisitas), akidah (keyakinan atau ideologi), maupun oleh persoalan ganmah (persaingan ekonomi). Memang konflik dalam kehidupan tidak bisa dihindari dalam suatu kehidupan. 

Konflik mesti dipahami sebagai bagian dari komunikasi. Semakin pandai para penganut agama dalam mengelola konflik-konflik yang terjadi di masyarakat, maka akan semakin baik kualitas kehidupan keberagamaan mereka. Sebab esensi beragama adalah bagaimana seseorang itu dapat bermu'amalah (berinteraksi sosial) secara baik.

Alangkah bahaya, jika ayat-ayat Al-Qur'an dipahami hanya tekstual, tanpa melihat konteks historisitasnya, serta tidak dihubungkan dengan gagasan Al-Qur'an mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan. 

Bukankah beragama dalam kondisi terpaksa tidak akan melahirkan sikap beragama yang baik? Sikap beragama yang baik manakala seseorang mampu mengamalkan substansi ajaran agama yang menjamin tegaknya nilai-nilai etik atau moral. Ia mampu menghormati, menghargai, dan tolong menolong dalam kebaikan dengan mereka yang berbeda sekalipun, demi tegaknya kehidupan yang damai dan harmoni sosial di tengah masyarakat multikultur. Wallhu a'lam bishawb.

*Alumnus Program Studi Ilmu al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pegiat di Forum Kajian Islam Kebangsaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun