Islam dan negara bisa bersimbiosis mutualistik. Pancasila dan Al-Qur'an tidak perlu dipertentangkan, keduanya dapat berjalan seiring dan harmoni. Tidak perlu ada formalisasi negara Islam, tetapi bukan berarti negara anti agama Islam, melainkan ruh ajaran Islam harus mampu memberi ruh/spirit dalam tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendek kata, jalan tengah dan moderasi beragama menjadi pilihan tepat dalam kontek keberagaman di Indonesia.
Agama seolah-olah telah dijadikan licence to kill (surat ijin untuk membunuh) orang lain karena perbedaan ideologi atau keyakinan. Padahal Islam telah mendeklarasikan dirinya sebagai agama rahmtan li al-lamn (Q.S. al-Anbiy'/21: 107) dan memberikan jaminan kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan (Q.S. al-Baqarah/2: 256).Â
Praktik keseharian yang dicontohkan Nabi juga meneguhkan akan visi dan misi Islam sebagai agama yang humanis, toleran dan beradab. Ketika terjadi Fath Makkah, beliau telah menujukkan sikap yang humanis, tidak ada balas dendam, apalagi kesewenang-wenangan. Demikian pula ketika di Madinah, beliau telah membuat piagam Madinah yang mencerminkan nilai-nilai toleransi terhadap nonmuslim, terutama kaum Yahudi.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam proses perjalanan sejarah umat Islam berikutnya, telah terjadi konflik dan kekerasan, baik yang dipicu oleh pertikaian qablah (suku dan etinisitas), akidah (keyakinan atau ideologi), maupun oleh persoalan ganmah (persaingan ekonomi). Memang konflik dalam kehidupan tidak bisa dihindari dalam suatu kehidupan.Â
Konflik mesti dipahami sebagai bagian dari komunikasi. Semakin pandai para penganut agama dalam mengelola konflik-konflik yang terjadi di masyarakat, maka akan semakin baik kualitas kehidupan keberagamaan mereka. Sebab esensi beragama adalah bagaimana seseorang itu dapat bermu'amalah (berinteraksi sosial) secara baik.
Alangkah bahaya, jika ayat-ayat Al-Qur'an dipahami hanya tekstual, tanpa melihat konteks historisitasnya, serta tidak dihubungkan dengan gagasan Al-Qur'an mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan.Â
Bukankah beragama dalam kondisi terpaksa tidak akan melahirkan sikap beragama yang baik? Sikap beragama yang baik manakala seseorang mampu mengamalkan substansi ajaran agama yang menjamin tegaknya nilai-nilai etik atau moral. Ia mampu menghormati, menghargai, dan tolong menolong dalam kebaikan dengan mereka yang berbeda sekalipun, demi tegaknya kehidupan yang damai dan harmoni sosial di tengah masyarakat multikultur. Wallhu a'lam bishawb.
*Alumnus Program Studi Ilmu al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pegiat di Forum Kajian Islam Kebangsaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H