Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Parlemen dan Partai Oposisi

29 Februari 2024   21:33 Diperbarui: 4 Maret 2024   06:45 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suara partai oposisi. Sumber: KOMPAS/CHY

Dari hasil perhitungan suara Pilpres 2024 sementara ini, suara pasangan Prabowo-Gibran unggul atas pasangan AMIN, dan Ganjar-Mahfud. Hasil perhitungan ini kemungkinan besar tidak akan mengalami pergeseran hingga pengumuman resmi KPU tanggal 20 Maret 2024 mendatang.

Dengan demikian endingnya mudah dipastikan pasangan Prabowo-Gibran menjadi presiden dan wakil presiden masa 2024-2029.

Unggulnya pasangan ini peroleh dukungan dari koalisi Gerindra, Golkar, Demokrat,  PAN, PBB, Partai Gelora, Partai Garuda, PSI, dan Partai Prima yang menyebut sebagai Koalisi Indonesia Maju. Sementara koalisi partai yang mengusung tema perubahan untuk persatuan terdiri dari Nasdem, PKS, PKB, dan Partai Ummat, sedangkan partai koalisi pendukung Ganjar-Mahfud, menuju Indonesia unggul yakni PDIP, PPP, Perindo dan Hanura.

Di pihak lain partai politik nasional, yakni partai buruh menjadi satu-satunya partai yang tidak mendukung pasangan capres dan cawapres itu.

Telah diketahui dari uraian di muka itu posisi antara koalisi dari partai pemenang maupun koalisi yang kalah dalam pilpres 2024 ini. Namun demikian untuk kursi di parlemen pusat justru terjadi sebaliknya. Sebab pihak koalisi yang kalah dalam pilpres lebih banyak menempatkan wakilnya.

Koalisi Partai Oposisi

Lazimnya suatu negara yang menganut sistim pemerintahan dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi maka suara penyeimbang untuk mengontrol jalannya pemerintahan mutlak diperlukan. Suara penyeimbang ini ada di parlemen yang disebut kelompok oposisi atau gabungan partai yang berseberangan dengan partai pendukung pemerintah.

Dari hasil pilpres 2024 itu sudah terlihat posisi masing-masing partai, begitu juga untuk pileg dari perhitungan suara nasional sementara ini yang kelak memiliki wakilnya di parlemen, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, Nasdem, PKS, Demokrat, PAN, dan PPP.

Selebihnya PSI, Perindo, Gelora, Hanura, Buruh, Ummat, PBB, Garuda, dan PKN belum ada tanda-tanda bisa di atas ambang batas suara yang empat persen itu.

Karena itu mudah diperkirakan bahwa parpol yang kalah dalam mendukung paslon pilpres ini akan menjadi partai oposisi di parlemen. Setidaknya demikian yang bisa direka.

Namun dalam prakteknya belum tentu partai pendukung paslon pada pilpres yang kalah itu kuat untuk tegar berada di luar pemerintahan. Hal ini terjadi pada pilpres 2019 lalu yang imbasnya sampai jelang pemerintahan Jokowi-Mahruf Amin selesai,  saat ini hanya PKS saja (tidak ada di kabinet pemerintah).

Namun demikian,  dari perhitungan suara sementara ini PDIP, Nasdem, PKS, PPP dan PKB yang mengusung paslon yang kalah, potensial menjadi partai oposisi di parlemen dengan total suara sekitar 48,97 persen terhadap partai pendukung pemerintah, yakni Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN, sekitar 42,87 persen. Sisanya oleh partai baru yang menjadi koalisi masing-masing paslon.

Komposisi jumlah suara itu menjadi menarik bila dicermati secara politik di parlemen. Bisa dibayangkan kelak suara partai pendukung pemerintah yang tidak lebih banyak wakilnya itu dalam kinerjanya di parlemen akan mengalami kesulitan untuk mendukung tiap kebijakan pemerintah Prabowo-Gibran.

Walhasil segala kritik dan voting atas suatu kebijakan pemerintah maupun pembahasan suatu produk perundang-undangan akan mewarnai jalannya sidang, maupun sidang paripurna. Sehingga bisa dipastikan segala macam program yang dipandang tidak mewakili kepentingan partai koalisi maupun rakyat akan diputus saat ketuk palu dengan senjata pemungutan suara.

Namun begitu jumlah suara di parlemen demikian potensial pula bisa mengalami perubahan bila satu atau lebih partai lain yang kalah dalam mendukung paslon di pilpres memilih menjadi partai pendukung pemerintah. 

Sebut misalnya PPP, Nasdem, dan PKB. Ketiga partai ini sudah tentu ingin ambil bagian di dalam kekuasaan sebagaimana pemerintahan Jokowi - Maruf Amin. Karena sebagai partai politik nasional ketiga partai ini masih membutuhkan dukungan pemerintah bagi kepentingannya di dalam menggerakkan kerja partainya yang tersebar di penjuru nusantara.Termasuk menempatkan kadernya di kabinet pemerintahan.

Menanti Putusan PDIP dan PKS

Sementara itu untuk PDIP sebagai partai mapan yang memiliki massa militan sudah tentu siap menjadi partai oposisi, hal ini bisa dibuktikan saat pemerintahan SBY JK, dan SBY-Budiono pada 2004-2009 dan 2009-2014. Lain halnya dengan PKS, yang setia memosisikan diri sebagai partai oposisi di antaranya pada masa Jokowi-JK, dan Jokowi-Ma ruf Amin pada 2014-2019, dan 2019-2024.

Dua partai ini bisa dikatakan punya pengalaman di luar pemerintahan. Sayangnya secara ideologis bentuk perjuangan partainya, dua partai tersebut memiliki perbedaan, yakni nasionalis dan agamis, meski tetap dalam bingkai Pancasila.

Karenanya mustahil dua partai ini, meskipun siap, akan bisa duduk bersamaan di dalam parlemen untuk menjadi partai oposisi.

Tetapi namanya politik bisa saja terjadi, bergantung pada posisi tawar masing-masing dua partai ini di dalam merumuskan kesepakatan untuk menegaskan posisinya di luar pemerintahan.

Paling tidak bila dua partai ini punya kesamaan kepentingan politik untuk menarik simpati publik, pada saat agenda legislais kelak, salah satunya mengenai pembahasan dan pengesahan UU Perampasan Aset maka bukan tidak mungkin dukungan rakyat akan mencuat.

Kendati lagi-lagi di dalam pelaksanaannya itu tetap saja sulit, kecuali memang, baik dari pemerintah maupun partai pendukungnya mengagendakan untuk pembahasan UU tersebut.

Untuk itu memang idealnya di suatu negara demokrasi, partai oposisi mutlak keberadaannya yang serta merta berjalan tatkala dalam suatu pilpres, koalisi yang mengusung paslon capres dan cawapres mengalami kekalahan.

Tapi ini Indonesia dengan segala keunikan politiknya. Satu sisi partai koalisi unggul pada pilpres, namun di sisi lain, partai koalisi yang kalah dalam pilpres itu, unggul suara di pileg (parlemen pusat). Jadi bagaimana menjelaskan politik di parlemen dengan banyak partai dengan hasil yang demikian?Karenanya baik PDIP maupun PKS mesti memantapkan diri sejak sekarang untuk siap sedia sebagai dua partai oposisi yang tidak punya wakilnya di kabinet.

Penutup

Apapun ideologi dan tujuan politik partainya, suatu koalisi partai yang mengusung pasangan capres dan cawapres yang kalah lazim disebut koalisi partai oposisi. Kehadiran koalisi partai oposisi di parlemen sebagai bagian tugas pengawasan terhadap kebijakan pemerintah. 

Meski di saat yang sama, koalisi partai pendukung  juga existing untuk mengawal program dan kebijakan pemerintah. Namun demikian terlepas dari ada atau tidak adanya koalisi partai oposisi di parlemen kelak, tetap saja kepentingan rakyat di atas segala-galanya. Hanya saja parlemen tanpa partai oposisi di negara yang mengklaim negara demokrasi menjadi tidak asik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun