Namun dalam prakteknya belum tentu partai pendukung paslon pada pilpres yang kalah itu kuat untuk tegar berada di luar pemerintahan. Hal ini terjadi pada pilpres 2019 lalu yang imbasnya sampai jelang pemerintahan Jokowi-Mahruf Amin selesai, Â saat ini hanya PKS saja (tidak ada di kabinet pemerintah).
Namun demikian, Â dari perhitungan suara sementara ini PDIP, Nasdem, PKS, PPP dan PKB yang mengusung paslon yang kalah, potensial menjadi partai oposisi di parlemen dengan total suara sekitar 48,97 persen terhadap partai pendukung pemerintah, yakni Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN, sekitar 42,87 persen. Sisanya oleh partai baru yang menjadi koalisi masing-masing paslon.
Komposisi jumlah suara itu menjadi menarik bila dicermati secara politik di parlemen. Bisa dibayangkan kelak suara partai pendukung pemerintah yang tidak lebih banyak wakilnya itu dalam kinerjanya di parlemen akan mengalami kesulitan untuk mendukung tiap kebijakan pemerintah Prabowo-Gibran.
Walhasil segala kritik dan voting atas suatu kebijakan pemerintah maupun pembahasan suatu produk perundang-undangan akan mewarnai jalannya sidang, maupun sidang paripurna. Sehingga bisa dipastikan segala macam program yang dipandang tidak mewakili kepentingan partai koalisi maupun rakyat akan diputus saat ketuk palu dengan senjata pemungutan suara.
Namun begitu jumlah suara di parlemen demikian potensial pula bisa mengalami perubahan bila satu atau lebih partai lain yang kalah dalam mendukung paslon di pilpres memilih menjadi partai pendukung pemerintah.Â
Sebut misalnya PPP, Nasdem, dan PKB. Ketiga partai ini sudah tentu ingin ambil bagian di dalam kekuasaan sebagaimana pemerintahan Jokowi - Maruf Amin. Karena sebagai partai politik nasional ketiga partai ini masih membutuhkan dukungan pemerintah bagi kepentingannya di dalam menggerakkan kerja partainya yang tersebar di penjuru nusantara.Termasuk menempatkan kadernya di kabinet pemerintahan.
Menanti Putusan PDIP dan PKS
Sementara itu untuk PDIP sebagai partai mapan yang memiliki massa militan sudah tentu siap menjadi partai oposisi, hal ini bisa dibuktikan saat pemerintahan SBY JK, dan SBY-Budiono pada 2004-2009 dan 2009-2014. Lain halnya dengan PKS, yang setia memosisikan diri sebagai partai oposisi di antaranya pada masa Jokowi-JK, dan Jokowi-Ma ruf Amin pada 2014-2019, dan 2019-2024.
Dua partai ini bisa dikatakan punya pengalaman di luar pemerintahan. Sayangnya secara ideologis bentuk perjuangan partainya, dua partai tersebut memiliki perbedaan, yakni nasionalis dan agamis, meski tetap dalam bingkai Pancasila.
Karenanya mustahil dua partai ini, meskipun siap, akan bisa duduk bersamaan di dalam parlemen untuk menjadi partai oposisi.
Tetapi namanya politik bisa saja terjadi, bergantung pada posisi tawar masing-masing dua partai ini di dalam merumuskan kesepakatan untuk menegaskan posisinya di luar pemerintahan.