Ruang demokratis sesuai UU itu sudah disiapkan sebagaimana aspirasi masyarakat desa. Bila seorang kepala desa dipercaya oleh masyarakat itu punya kemampuan untuk secara konsisten melaksanakan program kerjanya dan nyata hasil pembangunan itu dirasakan masyarakat, maka tidak ada sulitnya bagi masyarakat untuk memilih kembali.
Sekaligus kepala desa dan perangkatnya melanjutkan proses pembangunan yang mash belum rampung itu.
Namun sebaliknya, bila ternyata kepala desa terpilih selama proses menjalani tugas, wewenang, dan kewajibannya tidak nyata, dan cendrung menyalahgunakan kekuasaan, maka masyarakat desa tidak perlu memilihnya kembali bila ia mencalonkan lagi.
Terlebih bila penyerapan anggaran untuk kebutuhan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat itu terindikasi disalahgunakan, maka masyarakat bisa menyampaikannya pada BPD, atau misalnya BPDnya mandul masyarakat bisa menginformasikan pada organisasi vertikal di atasnya desa, seperti Camat, Bupati, atau DPRD.
Atau bila diperlukan langsung membuat laporan atau aduan disertai bukti awal pada pihak Kepolisian dan atau Kejaksaan.
Atau bila semuanya tidak menindaklanjuti informasi, laporan, serta aduan masyarakat, maka KPK bisa didorong untuk terjun pula ke desa-desa (Rasanya butuh Personil KPK di tiap Kabupaten/Kota secara tetap).
Melihat semua aturan penyelenggaraan pemerintahan desa tampak tuntutan masa jabatan sembilan tahun sebagai suatu keanehan bagi publik. Semestinya pula agar ada keseimbangan dalam proses hak untuk menuntut itu diajukan pula tuntutan kepada pemerintah dan aparat penegak hukum oleh kepala desa secara bersamaan agar kinerjanya diaudit, dievaluasi, dan diperiksa.
Sehingga kinerja yang dilakukan memiliki bobot dan nilai bahwa kepala desa adalah pelaku demokrasi yang sesungguhnya sebagai bagian dari karakter masyarakat desa. Tapi sayang, hal itu tidak dilakukan.
Jika demikian maka proses politik yang terjadi di desa untuk menjadi kepala desa semata untuk menjadi penguasa yang maunya menuntut tanpa pernah mau mengevaluasi kinerjanya, apakah desa yang dipimpinnya itu sudah mengalami kemajuan atau malah tertinggal.
Publik saat ini hanya bisa melihat dan menilai, apa yang dilakukan kepala desa secara massal itu ibarat jurus jitu bahwa desa mampu mengepung kota. Apalagi lewat rilis media massa, tuntutan itu juga disertai ancaman terkait suara untuk DPR pada pemilu 2024 mendatang.
Tapi mengapa pula dari kepala desa tidak ada ancaman bila kinerjanya tidak segera diaudit, maka mereka bersumpah bahwa program pemerintahan desa yang dipimpinnya akan semakin geliat dijalankan dengan bersih, tanpa korupsi, kolusi, dan pungli.