Himpunan kepala desa belum lama ini berdemonstrasi ke parlemen pusat (DPR) untuk menuntut masa jabatan supaya ditambah. Tidak ragu dan tanggung, mereka ingin sembilan tahun di posisi itu.
Publik menilai, posisi demikian sebagai posisi yang menjanjikan dan menggiurkan setelah rutinitas dana desa digelontorkan oleh pemerintah setiap tahunnya.
Dari segi tugas, kewenangan, dan tanggungjawab kepala desa, maka dana desa itu punya nilai yang mesti diimplementasikan dalam bentuk program nyata desa. Entah pembangunan fisik, maupun mental yang tertuang terutama di dalam peraturan desa.
Hanya saja, di tengah perjalanan mengurus desa sesuai aturan desa yang dibuat bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan peraturan perundangan lainnya mendadak kepala desa MENUNTUT masa jabatan sembilan tahun.
Pertanyaannya, mengapa demonstrasi kepala desa seluruh Indonesia itu tidak menuntut haknya pula untuk diaudit kinerjanya oleh pemerintah dan aparat penegak hukum?
Demokrasi di Desa
Mesti diakui, tumbuhnya demokrasi bermula di desa. Kecendrungan masyarakat yang saling membantu, gotong royong, dan tenggang rasa sebagai modal bagi praktik demokrasi.
Hal itu diwujudkan melalui pemilihan kepala desa atau tokoh adat yang dilaksanakan melalui musyawarah dan mufakat.
Demokrasi ketika itu masih dimanifestasikan lewat musyawarah atas dasar kesepahaman dan kompromi di antara tokoh masyarakat. Yang sejalan dengan itu dalam prakteknya kemudian diatur lewat undang-undang.
Maka untuk menjadi kepala desa dilakukan pemilihan kepla desa. Ada panitia juga yang memutuskan apakah syarat calon kepala desa itu terpenuhi atau tidak.