30 Desember 2022, jelang akhir tahun, pemerintah menerbitkan Perpu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Terbitnya Perpu ini dengan sendirinya mencabut UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sekaligus dinyatakan tidak berlaku lagi sesuai pasal 185 Perpu Cipta Kerja.
Kendati pemerintah sendiri dalam hal ini belum menuntaskan putusan Mahkamah Konstitusi No.91/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan secara garis besar bahwa UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat, dan memerintahkan pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Namun upaya untuk memperbaiki UU tersebut oleh pemerintah dan DPR menjadi kelar sementara setelah dikeluarkannya Perpu ini. Sembari menunggu disetujui atau tidak oleh parlemen.
Perintah Atas Putusan MK
Perintah atas putusan MK terhadap pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan bisa dipahami sebagai jalan untuk lahirnya UU Cipta Kerja yang aspiratif dan akomodatif, antara semua stake holder, baik masyarakat, pemerintah dan parlemen.
Namun belum juga dituntaskan upaya tersebut telah diterbitkan Perpu sebagai cara pemerintah agar persoalan UU Cipta Kerja ini di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan tidak mengalami kevakuman atau kekosongan hukum.
Tentu dengan alasan yang sudah diketahui umum sebagaimana media massa beritakan, dan juga menurut versi pemerintah dinyatakan Perpu sudah sejalan dengan konstitusi UUD 1945 pasal 22 ayat 1, yang menyebutkan bahwa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti UU/Perpu.
Selain itu dalam pasal 1 angka 4 UU No 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan menyebutkan juga Peraturan pemerintah pengganti undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
Tentang hal ikhwal kegentingan memaksa sebagaimana alasan Perpu diterbitkan juga mengacu atas putusan MK No.003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005, dan putusan MK No.138/PUU/VII/2009 yang ringkasnya disebutkan bahwa hal ikhwal kegentingan yang memaksa tidak harus disamakan dengan adanya keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil, militer, atau keadaan perang.
Akan tetapi kegentingan memaksa itu menjadi hak subjektif presiden untuk menentukannya, dan selanjutnya menjadi objektif kelak jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang. Terlebih dalam putusan no. 138/PUU-VII/2009, keadaan kegentingan yang memaksa diberikan tafsir dengan syarat di antaranya adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Namun demikian muncul pandangan berbeda dari masyarakat yang kira-kira intinya menyebutkan presiden telah sewenang-wenang menerbitkan Perpu Cipta Kerja dengan alasan bahwa semestinya pemerintah dan atau presiden mentaati putusan Mahkamah Konstitusi untuk memperbaiki UU Â Cipta Kerja yang telah diputuskan tempo hari itu. Tidak ada jalan lain.
Oleh karena hal itu, dari pandangan yang berbeda tersebut, menunjukkan bahwa meski rujukan atas argumen yang masing-masing pihak sampaikan sudah tentu dan pasti akan tetap mengacu sebagaimana uraian tersebut di atas.
Hanya saja tampak nyata dan terlihat antara tafsir kekuasaan di satu pihak, dan yang bukan masuk dalam lingkaran kekuasaan pemerintah di pihak lain tidak paralel dan cendrung berjauhan ketika UUD 1945 diutak-atik untuk bisa terang dijelaskan pada masyarakat awam.
Padahal rujukan dan acuannya untuk menafsirkan tentang terbitnya Perpu, kewenangan presiden, hak subjektif presiden, serta putusan MK terkait UU Cipta Kerja rumusannya sudah jelas.
Lalu apakah Perpu ini akan disetujui oleh DPR?
Polemik sebagaimana yang terjadi tentu saja bermuara di parlemen. Bila parlemen menyetujui Perpu menjadi UU maka tidak ada bedanya dengan upaya pemerintah sebagaimana perintah MK untuk memperbaikinya.
Karena sebagai pembentuk UU, antara pemerintah dan DPR akan lebih cepat untuk mengisi kekosongan hukum yang selama ini berjalan dengan membahasnya bersama. Dalam konteks bahasan Perpu ini boleh jadi bakal disetujui oleh karena kekuatan koalisi partai pendukung pemerintah sangat dominan.
Yang tentu agenda untuk menyetujui itu juga dengan melihat dan menimbang sebagaimana pemerintah sebutkan mengenai adanya kondisi global yang tidak menentu akibat perang Rusia-Ukraina atau kebutuhan investasi,lapangan kerja, Â energi, dan seterusnya yang rumit-rumit. Jika pun tidak disetujui oleh alasan stabilitas politik dalam negeri , maka Perpu itu harus dicabut sebagaimana bunyi pasal 22 ayat 2 dan 3 UUD 1945.
Karena dicabut itu maka upaya pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja sebagaimana perintah MK tetap berlanjut. Sementara bila disetujui Perpu oleh DPR menjadi UU maka masyarakat dimungkinkan untuk melakukan uji formil dan materil dari UU yang berasal dari Perpu ini.
Sebagaimana yang media massa beritakan bunyi pasal Perpu yang dianggap belum mengakomodir aspirasi masyarakat menyangkut di antaranya, aspek ketenagaan kerjaan, tentang outsoursing, PHK, upah dan sejenisnya, dan yang lainnya dari isi Perpu itu yang dirasa pasal dan ayatnya bertentangan dengan UUD 1945.
Lepas dari hal tersebut, muncul pertanyaan yang terlintas dibenak, bagaimana mungkin putusan Mahkamah Konstitusi itu bisa sertamerta dianulir oleh Perpu?Atau dengan kata lain kedudukan antara lembaga eksekutif di satu pihak dengan lembaga yudikatif di pihak lain seolah memiliki jalan sendiri-sendiri atas nasib UU Cipta Kerja.
Terlebih menyangkut kepentingan kekuasaan yang dirasa kondisinya sekarang ini dipandang genting dan memaksa itu.
Lantas, apakah kemudian jalan masyarakat yang tersedia  setelah Perpu ini bila disetujui DPR menjadi UU, adalah melakukan Judicial Review lagi?Kok ya jadi bolak balik urusan UU Cipta Kerja ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H