Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kebun Jati Bapak

26 Desember 2022   07:16 Diperbarui: 26 Desember 2022   07:26 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pepohonan jati di atas tanah yang  sebagian berundak itu menjulang tinggi. Rata-rata 10 meter, dan berdiameter 30 hingga 40 cm. Tidak kurang 120 batang pohon  berbaris rapi dalam jarak satu meter masing-masingnya.

Tampak di salah satu sudut pepohonan di samping jalan yang datar ada setumpuk kotoran babi hutan. Kata petani di sini, masih sering dijumpai babi hutan yang acapkali bermain di kebun jati ini saat malam datang.

Aku hanya sekadar menengok kebun jati ini untuk beberapa saat guna memastikan kondisi kebun dalam keadaan terawat dan baik.

Usai bapak menceritakan perihal kebun yang dimilikinya ini  beberapa waktu lalu, dan katanya sudah dijual pada seseorang yang aku belum mengenalnya.

***

Siang itu mendung datang sangat cepat, menutup cerah sebelum azan berkumandang. Langit dengan sendirinya menjadi gelap walau tak nampak awan pekat yang bergulung-gulung.

Hanya angin yang sesekali menerpa kencang menggoyangkan sisa pakaian yang dijemur tetangga dan belum diangkatnya.

Terdengar deru suara motor berhenti di muka halaman rumah. Dua orang lelaki tua berucap salam secara berbarengan, lalu aku menyambutnya senang.

Beberapa saat kemudian berbincang ringan ditemani tiga cangkir kopi hangat, dan kudapan seadanya yang disediakan istriku sejak tadi.

Aku juga istri belum mengenal sama sekali kedua tamu yang datang ini namun kemudian bisa ringan perbincangan setelah mereka mengenalkan diri dan mengutarakan maksud dan tujuannya.

Hingga kemudian aku menyela apa yang  sedari tadi mereka ungkapkan.

"Jadi siapa yang waktu itu menjadi saksi jual beli kebun jati bapak?"tanyaku setelah mereka menjelaskan tentang kedatangannya ini.

"Hanya bertiga saja."

"Kalian berdua, kemudian bapak saya."

"Betul."

Lalu mereka memperlihatkan secarik kuitansi dengan nilai tertentu, dan ada paraf yang aku kenal sebagai goresan bapak.

Mereka meminta surat tanah yang dijanjikan bapak akan diserahkan hari ini lewat aku sebagai anaknya, sekaligus memberikan sisa pembayaran yang belum dilunasinya.

Lantas aku tidak sertamerta menerima pembayaran lunas mereka, dan mencari tahu lebih lanjut dari siapa mereka peroleh kabar bahwa kebun jati ini akan dijual waktu itu.

Karena meski bapak telah menceritakan soal jual beli ini, namun aku masih belum percaya pengakuannya. Terlebih aku sebagai anaknya tidak diberitahu sama sekali. Apalagi soal nilai uang yang pernah diterima oleh bapak dari mereka.

Kata satu dari mereka,"pak Ud yang memberi kabar."

Aku pun segera menghubungi pak Ud, dan tidak lama ia datang. Karena jarak desa di mana kami tinggal dengannya tidak terlalu jauh sebagai tetangga desa.

Sebagaimana bapak tinggal bertetangga dengan pak ud, dan masih ada jalur keluarga sebenarnya meski pun jauh.

Pak Ud membenarkan apa yang kemudian aku tanyakan. Hanya ia dengan tegas tidak mengetahui pasti kapan transaksi jual beli itu dilakukan.

Aku pun percaya dan tidak melanjutkan lagi bertanya sembari meminta pada dua orang tamu ini untuk janji waktu satu minggu lagi.

Mereka juga tidak keberatan, dan pergi kemudian meninggalkan kami, aku dan pak Ud.

"Bapak benar jual kebun jati itu?"tanyaku lagi pada pak Ud, sebagai orang yang dipercaya bapak, dan dekat dengannya.

"Kalau soal benar atau tidak, bapak bilang bagaimana?"balasnya justru bertanya balik.

"Pengakuan bapak seperti itu saat ia bercerita tentang kebun jati."

"Berapa nilainya?"

"Sangat besar, tapi anehnya bapak tidak cerita soal harga dan uang yang pernah diterima sebagian dari kedua orang itu tadi. Bapak hanya bilang kebun sudah dijual."

Pak Ud hening sejenak barangkali bakal mengetahui kira-kira transaksi jual beli ini memang benar-benar adanya.

Karena sejak menghitung hasil penjualan ikan ditambaknya yang tidak seberapa luas, juga ayam telur beberapa ekor tempo hari seringkali salah. Sehingga bukan keuntungan yang didapat tapi malah rugi.

Pak Ud menurutnya sudah mengingatkan, tapi bapak menganggap itu sudah benar hitungannya. Sampa-sampai sempat pula bersitegang.

Atas saran pak Ud, kami kemudian menuju kediaman bapak di bawah gerimis hujan yang mulai turun ketika senja juga tidak menampakkan merahnya.

Jalan juga mulai basah, dan percikan roda motor yang aku kendarai bisa dirasakan oleh dua ekor bebek yang tengah melintas. Kami kemudian tiba dan menjumpai bapak sedang melinting tembako di teras rumah.

Bapak tampak terkejut tatkala melihat kedatangan kami. Lintingan tembakau tiba-tiba ia hempaskan, dan berkata tegas.

"Kenapa kembali lagi. Tadi sudah saya katakan temui anak saya saja!"

Aku dan pak ud takkalah terkejut seraya mendekat bapak dan menenangkannya. Sekian menit kemudian setelah mendengar saya menyebutkan nama, juga pak Ud, baru bapak mau duduk kembali, dan memulai melinting tembakau yang akan dihisapnya.

Kami biarkan sejenak sembari menunggu lintingan tembakau yang sudah jadi. Usai itu ia hisap dalam-dalam seperti tidak lagi mempedulikan kehadiran kami di hadapannya.

Aku bertanya pada bapak sejak kapan ia sendiri di rumah setelah beberapa waktu lalu aku mengunjunginya. Sekaligus menanyakan istri bapak yang sudah dinikahi 10 tahun berjalan, dan sebagai ibu tiriku ini.

 "Ibu ada di mana sekarang?"

Namun bapak tidak mengingatnya lagi juga sudah berapa lama istrinya pergi. Yang ia ketahui dan ingat, istrinya pergi untuk menemui anaknya di kota lain.

Pak Ud hanya tertunduk diam mendengarkan penuturan bapak . Tampaknya ia merasa bersalah juga tidak memperhatikan bapak beberapa waktu ini.

Aku hanya menduga pak Ud merasa kesal dengan bapak hingga tak lagi singgah. Semua itu akibat kesalahpahaman soal pernah ia mengingatkan bapak mengenai kerugian hasil penjualan ikan, dan ayam. Di mana ketika itu bapak tidak mau mendengarkannya, malah justru mengabaikan dan membentaknya.

Aku dan pak Ud termenung kemudian mengetahui kondisi bapak demikian yang tampak terlihat bugar dari luar, namun tiada mengingat lagi apa yang pernah dilakukannya dulu. Bahkan wajahku pun ia samar-samar mengenalinya.

***

Satu minggu sebagaimana aku janjikan pada dua orang tamu itu untuk datang, ternyata mereka tidak kunjung ke kediamanku.

Aku hubungi pak Ud yang setia menemani bapak juga tiada kabar. Malah istri bapak yang adalah ibu tiriku tidak pernah datang kembali setelah meninggalkan bapak begitu saja untuk menemui anak-anaknya di kota lain.

Aku juga istri, dan dua anak-anakku yang beranjak remaja  akhirnya sepakat menuju kediaman bapak seraya menemaninya. Entah sampai kapan.

Di rumah bapak, aku hanya menunggu saja perihal kabar jual beli yang sesungguhnya itu apakah benar-benar terjadi atau hanya halusinasi bapak semata. Karena bapak kini sudah dimakan usia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun