Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Daster Batik

24 September 2022   08:39 Diperbarui: 24 Mei 2024   13:11 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh sebab visa turisnya bakal habis dua minggu lagi, sementara uang sudah menipis hanya cukup untuk sewa kosan, dan makan, maka Suleman berniat ambil peruntungan.

Di sisa waktu tersebut ia tetapkan hati untuk menjual apa yang bisa dijual di perkampungan berudara dingin ini. Sebagai WNA asal Timur Tengah, ia sudah dikenal oleh warga karena royal, dan mudah diutangi.

Terlebih ia sudah lumayan fasih berbahasa Indonesia dengan logat kampung itu maka dirasa cukup dari segi human resourcenya. Apalagi ia mudah akrab, dan cepat karib. Untuk itu, ia minta dikirimi pakaian dalam wanita dari negerinya.

Keluarganya heran di negerinya mendengar niatnya itu. Tapi juga kasihan. Sementara Suleman katakan, ia akan berusaha sekuat daya secara mandiri untuk bisa kembali ke negeri asalnya. Padahal keluarganya cukup terpandang di negerinya itu.

Tapi karena ia sudah bulat, maka keluarganya mengirimkan barang-barang sandang sebanyak tiga karung. Semuanya serba baru, dan semuanya pakaian dalam wanita.

Sisa waktu tinggal 10 hari.

Setelah disortir barang-barang itu ia bawa kemudian ke emperan di luar pagar mesjid pada hari Jumat. Di sini banyak penjual yang menggelar dagangannya. Serba rupa.

Dan, Suleman melihat di sisi sebelah kanannya, ada yang menjual siwak, kurma, juga air zam-zam. Juga kain sarung, buku-buku agama, es cendol, es dawet, peci, macam-macam di sebelah kiri, depan maupun belakangnya.

Suleman tersenyum.

Usai jumatan, ia buka kemudian. Jemaah saling berhimpitan untuk melihat, dan membeli barang yang diincarnya pada pedagang lain.

Sementara sudah nyaris satu jam, dagangan yang dijual Suleman tidak ada satupun yang laku. Orang hanya melihat-lihat saja.

Ia heran. Bukankah sering dilihatnya ketika ia datangi mesjid pada hari jumat, pakaian dalam bisa terjual?

Sedang bertanya-tanya itu, ia didatangi oleh seorang tua berjenggot, dan kopiah putih. Ia memberi salam, dan dijawab Suleman senang.

"Apa ada yang diminati buya?Ini barang import asli dari negeri saya?"

"Saya berminat ini, tadi istri, anak, dan cucu saya WA, titip pakaian dalam?"

Sulamen kemudian mengupas plastik dan memperlihatkan pakaian dalam itu pada calon pembeli ini. Tapi pas dilihatnya, orang tua ini hanya tersenyum, dan menggelengkan kepala.

"Atau warnanya kurang jreng, atau karetnya terlalu ketat?"

"Bukan, bukan itu. Ini ukurannya kelewatan. Besar sekali. Maaf ya,"kata orang tua ini seraya berlalu.

 Sadar barang yang dijualnya itu ukurannya terlalu besar, maka Suleman cepat merapikan kembali dagangannya. Seiring pengurus mesjid mengumumkan pula agar pedagang segera bubar.

Ia pun meninggalkan emperan mesjid dengan rasa kecewa.

 Dua hari Suleman kelimpungan. Sisa waktu tinggal delapan hari. Tapi beruntung ia punya teman di kampung sini. Kata kawannya ini, ia sedang butuh juga pakaian dalam produk lokal untuk diekspor ke Bombay.  

Suleman tidak perlu menjelaskan lagi barang ini asli negerinya. Karena ia sedang butuh uang, kuatir batal.  Maka, singkat kata barang tiga karung milik Suleman dibelinya tunai. Jual putus, tidak kredit.

Suleman tenang kemudian.

***

Sebenarnya uang yang diperoleh dari jual beli itu sudah cukup untuk bisa pulang ke negerinya. Tapi karena ia mulai tertarik berbisnis, maka ia akan menguji insting bisnisnya ini dengan produk lain yang akan dijualnya.

Ia survey ke sana kemari. Selancar di internet juga. Kira-kira produk apa yang bakal diminati. Sekian hari ia melakukan study, maka diputuskan untuk menjual daster batik.  Maka ia pun membeli daster batik itu secara grosir.

Tatkala membeli secara grosir ia heran. Label yang ada di daster itu berbahasa arab, setelah dibaca ia malah tersenyum. Pikirnya bagaimana mungkin barang ini bisa demikian laris. Ia pun bertanya pada penjaga kios ini.

"Ini barang dari negeri arab?"

"Barang lokal tuan."

"Kenapa labelnya pakai bahasa arab?"

"Mana saya tahu."

Usai bertanya itu ia putuskan juga untuk membelinya dengan harga murah, siapa tahu laris. Suleman pun bertekad akan menjual dengan bonus. Beli satu dapat satu. Tentu calon pembeli kelak akan senang, dan gembira. Terutama kaum ibu, dan gadis remaja.

Sisa waktu tiga hari mulai ia keliling, menjajakan dagangannya. Di luar dugaan, dagangannya banyak diminati. Terlebih ada bonus pula.

"Tidak rugi apa Wan, jual kok ada bonusnya?"kata ibu-ibu bertanya-tanya seraya mengelilinginya.

"Tidak. Ini sekalian berbuat baik,"jawab Suleman enteng.

Di hari itu ludes sudah. Ia senang, dan menambah stocknya kemudian untuk dijual lagi. Padahal sisa waktu  praktis tinggal dua hari lagi. Tapi ia sudah putuskan, tanggung. Satu hari saja besok ia tunaikan.

***

Maka esoknya ia keliling ke kekampung lain. Sebagaimana prediksinya, hari ini tandas pula. Namun di antara para pembeli yang mengelilingi itu, ada seorang ibu yang sedang bertamu di kampung ini untuk menemui familinya menegurnya. Ibu-ibu lain pun ada di di dekatnya.

"Dagang sih dagang. Jangan nipu dong. Pake bonus segala. Itu daster pada luntur pas dicuci. Mentang-mentang jual murah, seenaknya aja."

"Luntur bagaimana?Ini ada tulisan arabnya. Bisa baca tidak?Yang nipu siapa?"

"Baca bagaimana. Itu kan huruf arab gundul. Coba tolong dibacain."

"Ini ya. Saya kan dari arab. Ibu-ibu asal sini.  Kalo baca huruf arab dari mana mulanya?"

"Ya sebelah kanan. Semua orang juga tahu."

"Kalo orang sini dari mana biasa bacanya."

"Dari kiri ke kanan. Itu sih anak SD juga tahu."

"Nah perhatikan ya,"kata Suleman menenangkan ibu-ibu itu.

Sulamen pun menunjukkan tulisan yang tertempel di bagian atas leher daster itu, dan pelan-pelan membacanya.

Kata dia meyakinkan, kalau dibaca dari kiri tulisan ini berbunyi "ditanggung tidak luntur. Tapi dari sebelah kanan bunyinya "luntur tidak ditanggung. Ana orang arab. Coba siapa yang salah?"tanya Suleman sembari buru-buru meninggalkan ibu-ibu yang masih keheranan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun