Ketika itu Senin pagi, pukul 8.30 usai upacara di halaman sekolah SMA. Kau, dan aku sepakat untuk bolos untuk alasan support team basket antar SMA se Jakarta tahun 1987 yang hari itu akan bertanding, pukul 10.00 Wib. Padahal saat itu sudah di mulai mata pelajaran matematika untuk latihan soal-soal ujian akhir Ebtanas.
Kami berdua yang duduk satu bangku di kelas tiga ini masih merencanakan di kantin untuk keluar dari sangkar sekolah secara diam-diam. Sementara kawan-kawan lainnya sudah asik dengan mata pelajaran itu.Â
Juga sekaligus deg-degan untuk dapat giliran maju secara random guna menjawab soal di papan tulis.
Hasil dari rencana itu, ada dua point yang bisa disimpulkan. Pertama, secara bergantian datangi guru piket yang sedang bertugas di pos pintu masuk dan keluar gedung sekolah. Untuk alasan sakit.Â
Kedua, kalau cara pertama gagal, maka satu-satunya jalan adalah meloncati pagar tembok setinggi tiga meter di area belakang sekolah yang dekat dengan pemukiman.
Jadilah kemudian rencana ini dieksekusi. Kaupun melakukan inisiatif untuk rencana pertama lebih dulu. Kaubilang pada guru piket ketika itu, "saya sakit, pak. Ijin untuk pulang."
Tapi guru piket tidak langsung percaya. Malah mau mengantarmu ke ruang UKS (Unit Kesehatan Sekolah) untuk diperiksa rasa sakit itu. Tapi kemudian, kaujustru cari alasan lain padanya, bilang tidak tahan ingin ke toilet untuk buang air besar saat guru piket itu hendak mengantar ke UKS.
"Sial, tidak diijinin brur!"katamu.
Lantas, tidak lama kemudian, aku menyusul untuk menuju ke pos pintu gerbang yang dijaga itu.
"Jika aku lolos makakau mesti loncati pagar tembok sekolah di area belakang." Begitu aku katakan padanya.
Saat sudah di pos, alasanku, terus terang saja ingin mensupport team basket di pertandingan.
"Tidak ada support. Nanti kalau sudah masuk final mungkin ada kebijakan dari kepala sekolah,"tegasnya.
Aku dan kau terbahak dengan gagalnya rencana ini. Kemudian mau tidak mau, eksekusi rencana kedua di mulai. Kau, dan aku bersama menyisir bagian belakang sekolah yang sekiranya bisa untuk diloncati besama.
Setelah wara wiri beberapa saat di area belakang sekolah mencari posisi yang strategis, dan mudah untuk lolos, maka ditemui lokasi itu. Persis dekat dengan mukimnya penjaga sekolah. Di situ tidak kurang ada rongsok empat meja belajar yang rusak, dengan bangkunya. Lalu ditata kemudian oleh kami meja itu secara sembarangan agar aku bisa leluasa, dan santai melewati tembok ini.
Secara perlahan aku naiki meja, dan kursi. Tapi setelah aku ada di atas bibir tembok, tampak pijakan di bawahnya hanya sekitar 20 cm. Aku tidak percaya diri bisa berpijak di situ, dan bathinku bilang perlu disangga untuk turun perlahan dengan menggelantung. Aku bilang kemudian begitu, dan kaupun menyetujui untuk lebih dulu lewati pagar tembok. Dan, berhasil.
Aku senang, ketika kau teriak sudah ada di balik tembok sekolah. Kini giliranku. Aku pun menyusul perlahan. Karena tinggi badan kau yang 175cm, maka mudah untuk bisa berpijak di situ, dan waktu menggelantung untuk turun tidak ragu lagi.
Pas saat aku lewati pagar, tidak langsung turun seketika, namun minta bantuan kau untuk ditahan supaya perlahan turunnya. Setelah merasa cocok bahwa kausudah siap dengan menahanku, baru aku turun. Tidak kurang ada 30 detik, aku menggelantung di tembok pagar itu, dan saat aku bilang siap ditahan, justru kautidak kuat untuk menahanku.
Kemudian,"byurrr!!"
Kami berdua seperti ikan lele berada di kali hitam selebar tiga meter, yang baunya minta ampun. Air kali itu setinggi dadaku, dan seperut badanmu. Pakaian sekolah jadi berwarna. Tas sekolah, dan isinya tidak karuan. Pendek kata sekujur tubuh hitam, dan bau. Tidak ada kau, dan aku saling menyalahkan. Hanya tertawa terbahak-bahak melihat hasil rencana bolos ini.
Kau, dan aku kemudian naik dari kali hitam itu perlahan. Sepanjang jalan yang dilalui kami berupaya mencari pemandian umum di pemukiman warga. Banyak yang melihat, dan bertanya,"kalian kenapa?"
Kami bilang, "sedang bercanda di pinggir kali, tapi terpeleset, dan jatuh."
Beruntung ada seorang ibu ketika kami memasuki gank di jalan pemukiman yang memanggil dari kediamannya. "Lha, itu kalian kenapa, nak?"
"Basah Bu!"jawab kami singkat.
Tapi kemudian ibu ini meminta kami untuk membersihkan diri di pompa air di muka halaman rumahnya. Kami pun tidak ragu lagi langsung bergantian memompa, dan menggunakan sabun cuci merk NASO yang ada untuk digunakan, seijin ibu pemilik rumah ini.
"Terima kasih ibu!"kata kami mencium punggung tangan kanannya usai cemerlang kembali. Dan ibu ini tidak lagi bertanya-tanya sesudah itu, dan pasti ia juga mengerti kami sedang tidak sekolah alias bolos. Kami pun bisa kemudian nonton pertandingan basket itu sembari tertawa gurih di sepanjang jalan, baik menuju ke GOR maupun kembali usai menonton pertandingan itu ke rumah orang tua masing-masing.
Dan, kemarin pukul 01.00 tanggal 21 Agustus 2022, ada kabar duka tak terduga via Wa, kau telah tiada. Aku hanya terdiam sepanjang tengah malam hingga pagi mengingat kembali apa yang pernah kita lalui dulu ketika di sekolah.
"Selamat jalan Jim, semoga kaubahagia di sisi Ilahi robbi."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H