Di sepanjang jalan pada Agustus 2022 hari ini berkibar sang Merah Putih tiada lelah. Di gedung perkantoran, di pemukiman, bahkan di warung-warung pinggir jalan. Bendera-bendera itu tiada yang kusam, kotor, maupun sobek. Semua mengkilap, bersih, dan kompak melambai-lambai kala dihembus angin.
Di kendaraan pribadi, maupun angkutan umum juga demikian. Termasuk bajajnya Zaid yang tiap bulan keramat ini tak bakal ditinggalkan untuk didandani. Dari rukim, penjual bendera yang langganannya itu, Zaid beli untuk tahun ini tiga bendera merah putih. Dua ukuran kecil, dan yang satu ukuran standar.
Untuk ukuran kecil ia hiasi di dekat spion kiri, dan kanan bajajnya, sementara ukuran standar di pasangnya di muka rumah. Setiap usai memasangnya ia hormat pada bendera tersebut dengan tegap dan tegak.
"Kepada sang merah putih, hormat grak!"Tegasnya spontan.
Lalu ia lhat-lihat lagi untuk memastikan ketiga bendera itu secara bergantian kalau-kalau ada yang salah, atau terbalik memasangnya. Sebab pernah satu kali ia karena terburu-buru, bendera itu dipasang terbalik di bajajnya, sehingga kena push up oleh polisi ketika lewati jalan. Makanya untuk kali ini ia mesti teliti. Dan, untungnya semua serba rapi, baru, dan gemilang.
Ia juga bersiul, dan menyanyikan lagu 17 Agustus dengan penuh semangat. Sampai-sampai tetangganya mpok Loren yang sedang menjemur kutang, turut juga kala Zaid sampai di bait, "Indonesia Merdeka.. ."
"MERDEKA!" sahut mpok Loren seraya mengepalkan tangan.
17 Agustus sebagai tanggal, dan bulan keramat bagi Zaid. Ia kadang mengenang di saat sekolah dasar di tahun 70-an dulu yang selalu diminta untuk membaca Pancasila pada saat peringatan hari kemerdekaan tersebut.
Dari mulai kelas tiga sampai lima ia membaca Pancasila karena dipilih oleh bapak, dan ibu guru. Oleh karena suaranya keras, lancang, dan berani tampil di muka umum, juga hafal. Kemudian di kelas enam, ia semakin maju diminta untuk membaca Pembukaan UUD 1945 pada saat upacara itu.
Ia juga kadang ditanya oleh bapak, dan ibu gurunya, kelak cita-citanya mau jadi apa. Zaid juga tegas menjawab."menjadi orang yang berguna bagi bangsa, negara, dan agama!"
Mendengar jawaban itu, kadang bapak, dan ibu guru ingin tahu juga secara jelas cita-citanya apa secara pasti, sebagaimana teman-temannya itu. Ada yang cita-cita jadi guru, dokter, tentara, insinyur, polisi, pedagang, atau pemain lenong. Tapi Zaid tetap konsisten jawabnya, hanya ingin jadi manusia yang berguna bagi nusa. bangsa, dan agama.
Sembari tersenyum pula ia kadang merindukan juga untuk bisa bertemu teman-teman SDnya dulu. Apa mereka sekarang sudah menjadi apa yang mereka cita-citakan dulu?
Sayang, kerinduannya itu pupus. Sebab sekolah swasta yang dulu pernah ia belajar tinggal cerita saja. Sekolah itu sudah tidak ada, dan tidak ada lagi jejaknya. Katanya pernah hangus terbakar, katanya lagi sudah tidak ada muridnya, katanya lagi dijual oleh anak dari pengurus yayasan sekolah itu, banyak katanya lagi semacam itu.
Tapi Zaid masih beruntung menikmati masa di sekolah dasar ketimbang zaman almarhum kakeknya, dan orang tuanya yang hidup di masa perang kemerdekaan dulu yang masih buta huruf sampai sekarang.
Sedang asik menerawang masa sekolahnya, Zaid dikejutkan oleh tetangganya yang tergopoh meminta bantuan padanya untuk segera di antar dengan bajajnya. Tanpa banyak bicara Zaid segera meluncur memenuhi kemauan tetangganya ini.
Sepanjang perjalanan Ia tetap fokus, dan konsentrasi mengendalikan laju bajajnya.
***
Sepanjang jalan ini pula, Zaid siaga penuh. Bajajnya dikendalikan dengan cermat, dan sigap. Jika ada polisi tidur, ia pelankan lajunya. Karena bendera kecil merah putih berkibar di dekat kaca spionnya membuatnya jadi lebih siap dan waspada.
Untuk menghilangkan rasa gugupnya, ia juga spontan  menyanyikan lagu Syukur, "Dari yakin kuteguh, hati ikhlas kupenuh... ."
Tanpa Zaid sangka, tetangga yang jadi penumpangnya ini juga turut meneruskan lagu itu,".. akan karuniamu.. ."
Makin mantap bathin Zaid untuk segera meluncur pasti bajajnya ke tujuan. Namun pada jarak tertentu, ia terhalang oleh kerumunan massa yang berkumpul di jalan. Banyak kendaraan yang tersendat, bahkan diminta untuk putar balik.
Rupanya ada demonstrasi. Entah demonstrasi tentang apa. Entah juga mahasiswa atau bukan, tapi mereka semua seragam, dan banyak pula yang mengibar-ngibarkan bendera merah putih.
Karena sama-sama merah putih, Â saat Zaid diminta untuk putar balik bajajnya, ia tegas menolak. Orang yang meminta Zaid untuk putar balik, dan merasa ditolak itu menggebrak pintu bajajnya. Sembari bilang, "abang ini tidak paham betul, kami ini sedang berjuang untuk rakyat supaya nasib buruh sejahtera!"
"Bodo amat!"balas Zaid tajam seraya mendesak pada mereka untuk dibiarkan  lewat.
Karena dipandang bandel oleh para demonstran itu, lantas bajaj Zaid dikerumuni. Salah satu dari mereka berteriak keras," Abang bajaj ini bagaimana. Kami ini sedang membawa aspirasi rakyat menolak UU Cipta Kerja. Cepat putar balik!"
"Cipta kerja, cipta kerja. Ini urusan ciptaan Tuhan!"tanpa tedeng aling-aling Zaid keras menimpali.
Mendengar sengitnya Zaid, mereka yang mengerumuni melongok juga akhirnya ke arah penumpang yang ada di belakang bajaj itu, dan tanpa perintah Zaid semua membuka jalan. Bahkan laju bajajnya ini akhirnya dikawal pula oleh dua motor demonstran itu dengan sirine.
Zaid merasa menang, dan kemudian kembali menyanyikan lagu kemerdekaan dengan semangat. Kedua penumpangnya tersenyum juga, meski mereka kuatir tak cepat sampai sesuai waktunya. Tapi karena dikawal oleh dua motor para demonstran itu, akhirnya tiba juga Zaid di gerbang rumah sakit.
Suami penumpang itu, lekas menggandeng istrinya untuk turun dari bajaj. Lalu membayar ongkosnya pada Zaid. Zaid menerima, dan gembira mengantarkan penumpangnya yang sedang hamil tua, dan siap melahirkan itu ke rumah sakit yang dituju ini dengan selamat sentausa.
Dua pengawal tadi, bagian dari demonstran itu, ketika Zaid hendak jalankan bajajnya kembali disempatkan untuk memberi hormat pada Zaid dengan sebenarnya tanpa ragu. Zaid juga membalasnya sigap.
"Kayak aparat aja kita ini,"kata Zaid terkekeh.
Kedua demonstran itu juga terbahak, senang dengan usahanya, juga Zaid yang sudah memberikan baktinya lewat cara masing-masing. Mereka pun berpisah kemudian, untuk kembali dengan urusan yang mereka jalankan.
Di dalam bajaj sepanjang jalan tak henti Zaid menyanyikan lagu-lagu nasional. Kali ini ia lantang, nyanyikan lagu di bajajnya, "sorak-sorak bergembira, bergembira semua. Sudah bebas negeri kita, Indonesia merdeka. Indonesia merdeka, MERDEKA!"
Begitu bathinnya Zaid. Merdeka bagi dirinya karena sudah tunaikan tugas, dan mengantarkan penumpang itu ke pintu gerbang rumah sakit dengan selamat.
***
Tanggal 17 Agustus, puncak hari kemerdekaan diperingati di RT kediaman Zaid dengan lomba segala macam. Anaknya juga turut merayakan pesta itu dengan ikut lomba makan krupuk, adu cepat jalan dengan sendok yang ada kelerengnya yang dijepit gigi  di mulut, dan lain-lain. Di situ juga ia bertemu dengan suami dari istrinya yang tempo hari di antarnya ke rumah sakit.
"Terima kasih, bang Zaid. Anak, dan istri saya selamat, dan bayi ini namanya Agus Zainudin. Mohon izin nama abang di kenakan untuk kenang-kenangan,"bisiknya hangat.
Zaid tak bisa menimpali ucapan itu meski bisa dijawabnya dengan canda. Tapi baginya ini urusan nama yang juga doa dari orang tua. Sebagaimana nama dirinya Zaid Zainudin yang diberikan oleh kedua orang tuanya itu. Sebuah nama adalah doa.
Doa itu juga yang membuatnya bisa SEDIKIT berguna bagi bangsa, negara, dan agama sesuai cita-citanya  ketika masih di sekolah dasar dulu.
DIRGAHAYU 77 TAHUN INDONESIA MERDEKA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H