Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kamu adalah Rumahku

23 Juli 2022   23:49 Diperbarui: 24 Juli 2022   22:33 1112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah.| SHUTTERSTOCK/Jose Casquet via Kompas.com

Aku biasa habiskan waktu senggang di suatu taman yang asri dan sejuk. Di sekelilingnya pagar besi mengular panjang melingkari. Bundar seperti bola.

Di tiap sisi pagar itu pepohonan aneka rupa tumbuh terawat, dan cantik. Seperti rupa wajahmu kala sedang merajuk.

Di sini pula pertama kali kita bersua. Kamu pasti ingat itu. Ketika itu aku tengah memetik gitar, sendiri di bangku taman, dan tentu banyak orang lalu lalang, dan kau salah seorang di antara mereka.

Entah apa yang membuatmu berhenti melangkah? Barangkali hanya untuk sekadar mendengar denting gitar dan suara parau yang keluar dari tenggorokanku ini, pikirku.

Tapi usai aku menyanyikan lagu itu kamu pun mendekat. Aku terpana, dan terdiam kala menatap rupa dan matamu untuk pertama kali. Ada kilat bahagia di bola mata itu.

Tanpa ragu kamu ucapkan terima kasih padaku yang telah menyanyikan lagu kesukaanmu.

Dari perkenalan itu kemudian aku semakin tiada jarak denganmu lagi. Hari-hari penuh warna. Aku kian melambung di dekatmu, dan kamu pun tampak bahagia.

Tapi di balik kebahagiaan itu, kamu menyimpan sesuatu hal yang tidak aku mengerti. Sampai suatu hari, kamu memintaku untuk datang ke suatu tempat terbuka. Aku menyambut gembira ajakan itu.

"Bawa gitar sekalian?" Pintamu.

Dianganku suasana romantis bakal hadir. Kita akan nyanyi bersama di bawah taburan bintang yang gemerlap. Kilaunya di langit sana tentu akan jatuh menyinari, dan suasana hati demikian menjadi milik kita.

Tapi sayang sekali, aku sesungguhnya kecewa padamu kala itu. Saat aku datang, kulihat kau ada di sisi lelaki sebaya denganku. Terlihat mesra, dan bahagia.

Kamu pun memintaku untuk memainkan gitar, dan menyanyikan lagu, untukmu, lelaki itu, dan juga teman-temanmu. Setengah terpaksa, aku turuti kemauanmu.

Petikan gitar, suara dentingnya dan lagu yang kunyanyikan sebenarnya ungkapan rasa kecewaku di malam itu. Di luar dugaan, kamu justru menatap dalam ke arahku, dan aku tertunduk, malu.

Pikirku aku terlalu banyak berharap untuk menjadikan kamu seorang yang aku sayangi. Aku pulang kemudian dengan sejuta amarah dalam diam.

Tiga bulan lamanya rasa itu aku pendam, dan aku tidak mau lagi menemuimu, untuk alasan apapun.

Aku kembali ke kediaman orangtuaku akhirnya. Namun apa yang aku rasakan? Semakin dipendam rasa itu justru semakin larut pada bayang-bayang wajahmu, tutur kata lembut, dan ungkapan kata yang mengajakku untuk selalu optimistik menjalani hidup. Aku ingat itu, dan menyimak dalam-dalam seolah nasehat itu untukmu sendiri, dan juga aku. Sungguh aku menyintaimu teriak bathinku!

Siapa sangka, suatu malam dering telepon berbunyi, dan angka itu tidak aku kenali. Dari ujung telepon suara lelaki mengabarkan bahwa kamu sakit, dan kini di rawat sudah tiga hari lamanya. Ia pun spontan bilang, aku sangat dibutuhkanmu.

Tanpa pikir panjang, dari luar kota ini pula aku menuju rumah sakit di mana kamu dirawat. Aku pun tiba, dan melihatmu terbujur lemah di pembaringan ruang ICU. Di sekitarmu keluarga ada untuk menghiburmu. Kamu terkejut, juga keluargamu yang sudah mengenaliku.

"Siapa yang mengabarimu?" Tanyamu padaku.

Aku jawab sembari mendekat, dan bisikan nama lelaki itu. Kamu tersenyum lemah merespon bisikanku itu.

Sejak itu pula aku selalu berada di sisimu. Kunyanyikan lagu, juga semua hal tentang harapan untuk kesembuhanmu. Kamu kembali tersenyum, dan hati kecilmu pun perlahan mulai terungkap.

Aku jadi tahu, kamu pun menyimpan rasa yang sama denganku. Setelah aku utarakan rasa sayang yang tulus padamu di ruangan ICU ini. Kamu bahagia, aku juga.

Kita jalani, dan lalui hari-hari secara bersama selanjutnya. Sampai-sampai lembaran kertas yang biasa kamu tulis di pembaringan tak kamu perkenankan aku untuk membacanya.

Hingga suatu hari kakak perempuanmu memintaku untuk pulang kembali ke rumah orangtuaku. Tapi aku bilang padanya, tak ada tempat untuk kembali sebab kamu adalah rumahku.

Satu bulan, dua bulan hingga tiga bulan kemudian tanda kesembuhanmu terlihat. Benar saja dokter menyatakan kamu ada perubahan, dan mulai sehat kembali.

"Apakah sembuh total dokter?" Tanyaku.

Dokter hanya bilang ada harapan untuk sembuh total ketika itu. Aku gembira, dan mengungkapkan niatku selanjutnya untuk meminangmu. Aku utarakan itu tanpa ragu di sisimu.

Mendengar niatku itu, airmatamu berderai. Juga keluargamu. Kita bahagia bersama kala itu.

Satu tahun kita jalani sebagai suami istri akhirnya. Ungkapan hati hidup bersamamu dan rasa kita yang telah menyatu, aku tulis dalam lagu. Aku nyanyikan juga di hadapanmu.

Sampai juga kamu berharap, dan aku demikian untuk suatu saat bisa memiliki anak. Namun bukan harapan itu yang muncul. Justru tiba-tiba, kamu terbatuk, dan mengeluarkan darah dari mulutmu.

Aku segera mengajakmu untuk ke rumah sakit, tapi kamu tepis. Tetap aku memaksa, dan kamu menyerah. Kamu pun kembali ada di pembaringan. Sangat-sangat lemah, pucat, dan tiada tenaga.

Tapi yang selalu aku kenang, kamu tetap optimistik, gembira, dan senyum yang mewarnai deritamu. Aku kadang tersudut dalam kesedihan melihat keadaanmu demikian. Tapi tiada kutunjukkan. Dan, hari yang paling aku khawatirkan pun datang. Satu minggu kemudian kamu tak kuasa lagi menahan sakitmu itu. Kamu pun akhirnya pergi untuk selamanya.

Aku tak lagi bisa melakukan apapun. Hanya tangis, hampa dan kesunyian yang ada di sekelilingku. Orang lain pasti tak mengerti arti kehilangan orang yang disayangi, dan cintai. Aku yakin itu. Orang baru akan merasakan kehilangan bila orang yang selalu ada menemani di sisi tiap langkah hidup itu telah tiada.

Aku putus asa, frustasi, dan tak gairah kembali untuk jalani semua hal. Rasanya Tuhan tak adil membiarkanmu cepat MENUJU ke pangkuanNya.

Aku sungguh sesak, pengap, dan marah malam itu. Aku hancurkan semua barang yang menjadi kenangan kita bersama, aku hancurkan pula gitar yang selama ini menemani kita. Dan, dari gitar yang porakporanda itu, lembaran kertas yang terlipat terserak di hadapanku.

Aku raih, dan membuka lembaran itu. Rupanya tulisanmu ketika sedang ada di pembaringan rumah sakit kala di rawat pertana kali. Aku buka, dan baca perlahan kalimat demi kalimat. Tiada terasa airmataku pun tumpah. Di antara kalimatmu itu,

"Sayangku.."

Kelak kamu pasti akan membaca tulisanku ini. Semua ini tentangmu, juga tentang aku. Aku mengenalmu di luar harapanku. Kamu memang cinta sejatiku. Aku utarakan isi hatiku ini pada kakakku. Dia bahagia mendengarnya, karena kamu yang dipilih olehku. 

Kamu pernah kecewa aku tahu itu. Kamu marah pun juga aku tahu. Tapi itu semua untuk kebaikanmu. Aku sedang sakit yang tidak perlu kamu ketahui. Juga orang lain, kecuali keluargaku. Namun sampai juga akhirnya kamu tahu sakitku ini. Kamu temani aku di pembaringan seolah tak kamu pedulikan lagi hidup yang jadi keseharianmu. Aku menangis di kala kamu lelap di sisiku itu. Aku merasa bersalah tidak sebagaimana yang kamu harapkan untuk mencintaiku. Aku sakit sayangku, dan aku mengharap sekali kamu bisa menerimaku kemudian apa adanya.

O iya, lelaki yang telah membuatmu kecewa padaku, dia memang mencintaiku, tapi aku menolaknya kemudian setelah mengenalmu. Tapi kamu justru menghilang. Kenapa? Kenapa kamu tidak bertahan meski sebentar saja? Tapi sudahlah, akhirnya kita pun jadi bahagia bersama...

 Selembar, dua lembar hingga 10 lembar di baris akhir kalimat pada suratmu itu,

"... teruslah berbuat baik, dan berkarya dengan apa yang kamu miliki. Bakatmu, kepedulianmu juga rasa sayangmu pada keluarga. Aku sangat berterima kasih, kamu telah menjadi bagian dari hidupku. Sepeninggalku kelak tetaplah menjadi dirimu, jangan kamu ubah. Ini semua bagian dari takdir hidup. Hidupku juga kehidupanmu. Terima kasih sayangku, kamu adalah bintang yang bertaburan di langit sana, menerangi jalan hidupku selama ini. Terima kasih.

 Sayangmu ..

Aku semakin teriris hati ini membaca semua hal tentangmu, tentang aku, tentang harapan kita semua di lembaran kertas itu. Tapi aku pun bersumpah untuk mewujudkan harapanmu. Aku kemudian bangkit, dan keluar dari dalam kamar untuk menatap bintang-bintang di langit sana yang tetap bercahaya di kegelapan yang ada di sekitarku malam ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun