Aku jadi tahu, kamu pun menyimpan rasa yang sama denganku. Setelah aku utarakan rasa sayang yang tulus padamu di ruangan ICU ini. Kamu bahagia, aku juga.
Kita jalani, dan lalui hari-hari secara bersama selanjutnya. Sampai-sampai lembaran kertas yang biasa kamu tulis di pembaringan tak kamu perkenankan aku untuk membacanya.
Hingga suatu hari kakak perempuanmu memintaku untuk pulang kembali ke rumah orangtuaku. Tapi aku bilang padanya, tak ada tempat untuk kembali sebab kamu adalah rumahku.
Satu bulan, dua bulan hingga tiga bulan kemudian tanda kesembuhanmu terlihat. Benar saja dokter menyatakan kamu ada perubahan, dan mulai sehat kembali.
"Apakah sembuh total dokter?" Tanyaku.
Dokter hanya bilang ada harapan untuk sembuh total ketika itu. Aku gembira, dan mengungkapkan niatku selanjutnya untuk meminangmu. Aku utarakan itu tanpa ragu di sisimu.
Mendengar niatku itu, airmatamu berderai. Juga keluargamu. Kita bahagia bersama kala itu.
Satu tahun kita jalani sebagai suami istri akhirnya. Ungkapan hati hidup bersamamu dan rasa kita yang telah menyatu, aku tulis dalam lagu. Aku nyanyikan juga di hadapanmu.
Sampai juga kamu berharap, dan aku demikian untuk suatu saat bisa memiliki anak. Namun bukan harapan itu yang muncul. Justru tiba-tiba, kamu terbatuk, dan mengeluarkan darah dari mulutmu.
Aku segera mengajakmu untuk ke rumah sakit, tapi kamu tepis. Tetap aku memaksa, dan kamu menyerah. Kamu pun kembali ada di pembaringan. Sangat-sangat lemah, pucat, dan tiada tenaga.
Tapi yang selalu aku kenang, kamu tetap optimistik, gembira, dan senyum yang mewarnai deritamu. Aku kadang tersudut dalam kesedihan melihat keadaanmu demikian. Tapi tiada kutunjukkan. Dan, hari yang paling aku khawatirkan pun datang. Satu minggu kemudian kamu tak kuasa lagi menahan sakitmu itu. Kamu pun akhirnya pergi untuk selamanya.