Namun ia tetap tahan, dan hanya diam saja kemudian. Tidak ingin panjang lebar lagi dengan segala macam gagasan yang aneh itu. Hingga di ujung kesabarannya ia kemukakan juga.
"Bagaimana dengan Mida. Kalau empang milik ayahnya, yang juga pamanmu itu dijadikan milik bersama secara berkelompok?Bukankah itu namanya merampok atau pasti dilakukan juga dengan kekerasan. Pasti Mida akan menolak jalan pikiranmu itu."
"Tenang. Tidak ada unsur kekerasan di sini. Atau hal negatif yang ada di kepalamu itu. Semua bisa dijalani dengan kepala dingin."
Moko berpanjang-panjang menjelaskan alur pikirannya pada Putri. Namun Putri tetap saja menolak pikiran itu yang menurutnya sudah kerasukan pola pikir zaman dulu. Pola pikir yang masih nyata-nyata disimpan untuk kemudian memecah persatuan di masyarakat kampung sini. Segala macam idiom kata-kata yang sudah ia pelajari di bangku kuliah, secara terang-terangan diungkapkan Moko.
Padahal Moko bukan lulusan fakultas yang menimba ilmu semacam dirinya. Ia lulusan fakultas pertanian, yang punya kebiasaan mancing, dan juga mengasingkan diri, seperti yang ia ketahui dari sepupunya, Mida.
"Aku tetap tidak setuju dengan cara berpikirmu itu. Ini pola pikir yang sudah keterlaluan. Apalagi bicara Tuhan!"
Putri bergegas pergi tanpa menoleh kembali ke arah Moko. Ia tinggalkan Moko yang masih tidak menyangka itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Putri.
***
Entah bagaimana caranya, Mida dan Moko telah mampu meyakinkan haji Koni, sekaligus ayah dan pamannya itu, dan warga lainnya yang memiliki empang untuk dijadikan milik bersama. Entah bagaimana pula cara mengelolanya, sehingga perlahan kehidupan ekonomi kampung ini pun meningkat pesat dibandingkan kampung lainnya.
Boleh dikata warga di kampung sini rata-rata sebagai juragan empang. Kekuatiran yang dirasakan Putri tidak terjadi. Â Dan, semua warga merasakan manfaatnya.
Hanya saja Mida dan Moko punya keinginan untuk meluaskan cara semacam ini di kampung lainnya. Tapi apa mau dikata, cita-citanya untuk mensejahterakan masyarakat dengan model seperti ini hanya cukup sampai di sini. Belum tentu juga orang lain mau merelakan barang miliknya semacam empang atau tanah pertanian dijadikan milik bersama sebagai alat produksi untuk kemakmuran bersama.