Upah mingguan sudah Kosim kantongi. Ia tak perlu menghitung ulang sebab mandor Mandradikara kadung setengah mengancam agar ia lekas minggat dari hadapannya. Pasalnya bukan soal kerja galian yang dilakoni Kosim bermasalah. Tapi soal malam minggu lalu yang nyaris membuat mandornya semaput.
Malam yang semestinya bisa dinikmati untuk senang-senang ketika itu justru rugi tiada kepalang. Mandor merasa dikerjai Kosim. Sementara Kosim berkilah bukan salahnya. Semua peristiwa itu terjadi karena mandor sudah kebelet ingin menerkam jablay pinggir rel kereta dekat stasiun Senen dengan harga murah, dan terjangkau.
Tapi rupanya apa yang dituju mandor meleset. Perempuan itu bukan sebagaimana yang ada di batok kepalanya. Ia kala itu justru sedang menunggu suaminya yang tengah menambal ban motor di sekitar lokasi rel kereta api.
Ban motor bocor maka ia diminta suaminya untuk menunggu di warung gerobak rokok tidak jauh dari tempat tambal ban milik Ucok yang buka 24 jam.
Perempuan itu turut suaminya. Ia menunggu, lalu sekadar iseng ia beli sebatang kretek untuk mengusir dengung nyamuk di sekitarnya. Alasannya itu sedikit masuk akal. Padahal sebenarnya perempuan ini sudah biasa menghisap kretek ketika meluangkan waktu di jamban.
Mandor tertuju matanya. Kosim justru tidak. Ia malah mendahului mandor ke arah bekas bioskop yang dibakar massa ketika demonstrasi lalu. Kosim hapal betul, meski sudah tidak seramai dulu lagi tempat itu, namun satu dua jablay masih bisa ia kenali.
"Mau kemana Sim?Sergah mandor menarik ujung belakang kaosnya.
"Ke bioskop bang."
"Bioskop mana?Sudah hangus itu. Sini saja. Itu ada cewek di depan warung rokok. Ngebul dia."
Kosim tidak meladeni mandor. Ia paham betul bukan di situ cari perempuan yang bisa diajak kencan. Ia lalu pergi lagi, justru mandor mengemplang kepalanya keras. Kosim mengaduh pasrah. Â Ia bisa saja melawan mandor kerempeng ini namun nasib galian ada di tangannya.
"Bandel amat sih lu!"