Entah dari mana datangnya. Benih asmara tumbuh begitu dalam di antara mereka. Tiada yang nyana juga menduga. Di mata semua kolega mereka bersikap biasa. Bahkan cenderung terbuka, dan tidak menutup diri. Namun jauh dari itu sejatinya mereka menyimpan sesuatu yang tidak diketahui.
Rahasia. Mereka berdua.
Saban hari selalu ada sapa yang mereka lakukan. Berkisah tentang langit yang di kelilingi bintang gemintang. Bulan yang bulat  bersinar terang kala purnama. Bahkan tali kasih pada keluarga pun belakangan ini dimanifestasikan sebagai kepura-puraan semata. Mereka piawai memainkan peran.
Julia murung di sudut kamar. Jimen, suaminya enggan mendekati. Sudah tiga minggu jalan keadaan tidak ada perubahan. Padahal ia sudah meminta maaf pada suaminya secara tulus. Perkara jatah bulanan yang habis di tengah jalan, mestinya bisa dimaafkan.
Julia juga mengerti upah pegawai di perusahaan leasing tidak terlalu menggembirakan. Ia pun sudah katakan, semua itu untuk kebutuhan anak yang kian besar di tengah pandemi sekarang ini.
Namun tak satupun kata balas untuk memaafkan yang diucapkan suaminya itu. Â Ia seperti jauh berada di awang-awang sana. Â Pikirannya coba ia cari tahu. Namun yang terungkap hanyalah kebosanan di hari-hari yang dijalani.
"Aku bosan saja," jawab Jimen.
"Bosan kenapa?"
"Tidak apa-apa."
"Mas, bosan dengan saya?Atau mas sudah punya wanita lain?"
"Kalau aku bosan denganmu, tentu aku sudah minggat. Tapi nyatanya kan tidak."
"Iya, tapi kenapa mesti bosan?"
Tak ada jawaban. Jimen justru keluar kamar kemudian membisu di ruang tamu. Sigaret ia nyalakan di ujung pipa berbahan gading yang ia beli di pasar loak. Pipa rokok yang menurut pedagangnya bekas penderita TBC.
Namun karena Jimen suka bentuk dan ornamennya maka ia tak peduli. Direndam di air panas mendidih punah sudah kuman yang ada di pipa itu. Begitu pikirnya.
Sendiri di ruang ini. Ia tersenyum membayangkan keintiman yang jadi rahasia hatinya. Sementara Julia sudah terlelap dalam mimpi yang kadung membawa perih dan luka di hatinya. Jimen tak peduli.
***
Sebagai lelaki Jimen sangat seksi di mata emak-emak. Kepala plontos, tubuhjuga  tegap, meski kadang jinjit di saat melangkah akibat asam urat yang kadang menyerang.  Tapi itu bukan halangan untuk menjalin asmara yang ia gadang-gadang bakal awet hingga uzur.
Tiap langkah ia diliputi rasa rindu. Body montok membangun imajinasi. Derai tawa terukir dalam kalbu. Rasanya tak lekang di makan waktu. Di meja kantor ia  giras menuangkan gagasan-gagasan baru. Hasil kerjanya bukan minus justru naik tajam prestasinya.
Hal itu diketahui oleh atasannya, Cepi. Dari statistik laporan yang ia terima menunjukkan kurva naik dari segi angka kendaraan yang ditarik paksa. Ia memberi apresiasi. Tidak biasanya di masa tiga minggu ini segalanya menyenangkan bagi perusahaan.
Karenanya ia minta Shifa, sekretarisnya untuk menghubungi Jimen, agar ke ruang kerjanya.
"Selamat, Men. Prestasimu tiga minggu ini luar biasa. Saya sangat mengapresiasi."
"Ah itukan kewajiban saya, bos."
"Tapi ini jarang terjadi. Apa kamu tiap jalan berbincang dulu dengan para pendiri negara?" Tanya Cepi setengah gurau.
"Jangankan pendiri negara, bos. Tunggul Ametung juga saya hubungi sebelum jalan." Timpalnya tak mau kalah.
"Jadi itu semua betul?"
Jimen terhenti. Diam. Jika dijawab betul ia disangka gila. Tidak dijawab, tapi pertanyaannya serius. Jimen serba salah. Ia coba alihkan pertanyaan bosnya itu. Bahwa prestasinya ini karena ada dukungan kuat dari  lingkungan sosialnya.
"Maksudmu dukungan keluarga? Atau ada yang lain?" Tanya Cepi lagi ingin menyelami.
"Keluarga. Juga yang lain."
"Yang lain itu siapa?"
Jimen tersenyum kemudian penuh arti. Â Cepi bisa memahami sumringah di wajahnya. Ia urung mencari tahu lebih jauh. Itu persoalan pribadi yang tidak patut untuk diketahui.
Kata Cepi,"sepanjang tidak merugikan perusahaan ini. Itu hak pribadimu. Jalani sebahagia kamu. Saya tidak mau tahu."
***
 Asmara jika sudah berkelindan memang sulit untuk dilepaskan. Tak ayal semua orang pasti pernah mengalaminya.
Suatu siang ketika satu minggu tak sua dengan orang yang dikasihinya, Jimen kalangkabut. Dipikirnya terjadi sesuatu yang bikin hubungan mereka semrawut. Tapi untungnya tidak.
Sebab kebetulan sekali, siang di Sabtu  ini perusahaan mengundang keluarga konsumen setia untuk hadir di acara perusahaan.
Jimen tentu dengan Julia, dan dua anaknya. Juga karyawan dan pimpinan perusahaan ini. Konsumen setia itu berdatangan bersama keluarga. Di antara mereka, Erman endut, Â Andjat buta, Eddy sempak, serta Reybin uban. Juga dari kalangan ormas, dan petinggi di wilayah kerja perusahaan itu.
Acara semarak. Sebagai pimpinan perusahaan, Cepi berulangkali mengucap terimakasih. Loyalitas konsumen  adalah segalanya. Totalitas, orientasi wawasan, dan loyalitas dijabarkan olehnya sebagai prinsip perusahaan tersebut.
***
Jeda acara semua gembira. Dihibur tarian ronggeng. Satu-satu konsumen turut menari. Satu-satu pula menyelipkan uang di balik kutang wanita penari tanpa malu.
Namun di sudut ruang dekat sajian makanan. Jimen meluap senang. Rona wajahnya terbungkus keceriaan. Girang tiada kepalang. Di antara keluarga konsumen yang datang. Hanya satu yang ia tunggu-tunggu. Ia kini ada di dekatnya.
"Aku kangen sekali," kata Jimen berbisik di telinganya.
"Aku lebih dari itu," lirih Gareng Embul nan montok sembari menggenggam erat jemari Jimen serasa tak ingin dilepaskan.
Namun begitu, Cepi, bos perusahaan ini tak sengaja melihat keintiman mereka. Ia terkejut seraya  berucap memohon ampun pada Yang Kuasa.
"Semoga keduanya kembali pada jalan yang lurus."
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H