"Iya, tapi kenapa mesti bosan?"
Tak ada jawaban. Jimen justru keluar kamar kemudian membisu di ruang tamu. Sigaret ia nyalakan di ujung pipa berbahan gading yang ia beli di pasar loak. Pipa rokok yang menurut pedagangnya bekas penderita TBC.
Namun karena Jimen suka bentuk dan ornamennya maka ia tak peduli. Direndam di air panas mendidih punah sudah kuman yang ada di pipa itu. Begitu pikirnya.
Sendiri di ruang ini. Ia tersenyum membayangkan keintiman yang jadi rahasia hatinya. Sementara Julia sudah terlelap dalam mimpi yang kadung membawa perih dan luka di hatinya. Jimen tak peduli.
***
Sebagai lelaki Jimen sangat seksi di mata emak-emak. Kepala plontos, tubuhjuga  tegap, meski kadang jinjit di saat melangkah akibat asam urat yang kadang menyerang.  Tapi itu bukan halangan untuk menjalin asmara yang ia gadang-gadang bakal awet hingga uzur.
Tiap langkah ia diliputi rasa rindu. Body montok membangun imajinasi. Derai tawa terukir dalam kalbu. Rasanya tak lekang di makan waktu. Di meja kantor ia  giras menuangkan gagasan-gagasan baru. Hasil kerjanya bukan minus justru naik tajam prestasinya.
Hal itu diketahui oleh atasannya, Cepi. Dari statistik laporan yang ia terima menunjukkan kurva naik dari segi angka kendaraan yang ditarik paksa. Ia memberi apresiasi. Tidak biasanya di masa tiga minggu ini segalanya menyenangkan bagi perusahaan.
Karenanya ia minta Shifa, sekretarisnya untuk menghubungi Jimen, agar ke ruang kerjanya.
"Selamat, Men. Prestasimu tiga minggu ini luar biasa. Saya sangat mengapresiasi."
"Ah itukan kewajiban saya, bos."