Senyum kemenangan dari kepala penjara tidak bisa disembunyikan lagi. Satu dari tiga orang terpidana mati sudah tidak mendapatkan pengampunan dari penguasa.Â
Satu surat ada di tangannya.Surat itu ia baca dengan seksama. Ia simpulkan jika dari tiga terpidana mati, yang satu sudah mendapatkan surat dari penguasa, maka yang dua lainnya pun akan menyusul. Tidak dalam waktu lama. Â Mereka tinggal tunggu saatnya saja.
"Bedebah biadab itu mampus juga!"
Wajar sang kepala penjara ini senang, bercampur marah. Â Senang karena kematian mereka tidak akan menghalangi lagi jatah uang yang akan diterima dari sindikat narkotika di sini.Â
Dan marah, oleh karena ketiga terpidana mati dan sadis ini, sangat disegani oleh sipir penjara, dan sesama tahanan. Berulang kali skenario untuk membuat ketiganya mati karena kecelakaan, selalu lolos. Â
Bahkan justru tahanan dan petugas penjara yang  tewas. Sebab ketiganya dikenal sudah kehilangan rasa kemanusiaan bagi sesama. Yang mereka punya sifat dasar hewani.
Dan selanjutnya, dari tiga orang yang dihukum mati pada hari H sudah dipastikan tempat dan waktunya oleh penguasa. Petugas penjara hanya memberitahukan saja melalui surat.Â
Tidak secara langsung mengatakan pada terpidana ini. Karena dikuatirkan akan menimbulkan efek psikologis. Terpidana ini pun akhirnya mengetahui dengan pasti akhir hidupnya di dunia setelah membaca surat tersebut. Ia tidak sebagaimana yang dikuatirkan oleh petugas penjara. Justru sebaliknya tampak tenang, dan cendrung menunjukkan sikap yang ramah sekali.
Saking ramahnya ia sampaikan isi surat itu pada dua orang terpidana lain yang masih menunggu kabar kematiannya. Di sela waktu makan siang bersama secara khusus bagi mereka, Steve katakan, ia dua hari lagi dari sekarang akan menghadapi regu tembak. Keduanya James dan Brian tidak bereaksi mendengar itu.Â
Steve kembali mengulang, ia akan meminta agar peluru yang ditembakan padanya mengarah pada keningnya. Agar isi kepala pecah berhamburan, dan tidak ada lagi sel-sel otak yang utuh. James dan Brian masih tetap diam sembari menikmati roti makan siangnya.
Kata Steve lagi,aku akan menunggu kalian di suatu tempat yang sangat menyenangkan. Aku pernah melihatnya dalam mimpi. Dan, aku meyakini itu adalah tempat di mana kita semua akan berkumpul seperti sekarang ini. Tempat itu sangat luas, rerumputan hijau tumbuh di mana-mana, barisan pepohonan juga memagari lokasi ini.
Aku melihat sebuah tiang setinggi dua meter kurang lebih. Rasanya itu adalah sebuah patok yang sengaja dipancangkan agar kita semua mengetahui posisi akhir kita di situ.
Steve terus bicara, dan James kemudian memotongnya. Kata James, ia juga pernah merasakan mimpi semacam itu. Hanya saja lokasinya tidak luas tapi sempit. Tidak ada tiang apapun, tidak ada pepohonan, juga tidak ada rerumputan. Namun tempat itu semacam ruang yang sejuk, dan di sana sini terang benderang.Â
Aku merasakan kedamaian di ruang itu. Dalam mimpi itu orang-orang semua bergerak cekatan, namun dalam diam. Dari wajah mereka seperti iba dan menaruh belas kasihan padaku. Aku tidak sempat menanyakan dalam mimpi itu mengapa mereka bersikap demikian.
"Mestinya kau paksakan bertanya,"sela Steve.
"Ya, tapi seperti ada sesuatu yang menghalangi demikian kuat sehingga aku tak mampu mengatakannya. Lalu dalam mimpimu itu, apakah ada orang di sana?"
"Ada. Mereka aku rasa sekitar tujuh orang, berbaris rapi seperti memberikan hormat padaku. Sayangnya aku tidak melihat dengan jelas dalam mimpi itu, apa yang mereka bawa. Sepertinya pemukul baseball. Barangkali mereka akan mengajakku sport."
"Tidak demikian!"Brian berujar tegas.
Katanya lagi, kalian sudah dipastikan akan menghadapi regu tembak, dan tegangan listrik tinggi untuk mengakhiri hidup kalian. Kita semua tidak berkumpul seperti yang kau bilang Steve.Â
Kalian sudah diberi isyarat, dan kabar lewat mimpi itu. Kalian harus bersiap dari sekarang. Kalian harus mati seperti orang yang telah mati akibat kalian bunuh. Terima itu sebagai konsekuensi dari perbuatan biadab kalian.
Mendengar apa yang dikatakan Brian, keduanya terdiam, kelu. Mulut mereka seperti terkunci. Mereka lupa tidak lagi berbicara tentang mimpi, tentang hukuman mati, dan tentang keinginan terakhir mereka sebelum menghadapi maut. Mereka tertunduk, tidak menatap satu sama lain. Brian tersenyum misterius melihat kedua orang ini yang dikenal sadis dan tanpa ampun pada korbannya.
Hari terus berjalan, hingga saatnya Steve menghadapi peluru yang dimuntahkan ke arah keningnya, dan pecah seketika. Begitu juga James, menggeliat-geliat menghadapi maut hingga hangus tubuhnya disentuh aliran listrik bertegangan tinggi.Â
Dan, Brian mengetahui kabar kematian kedua terhukum mati itu melalui surat kabar yang ia baca di suatu tempat yang aman dan sulit ditemukan. Ia mampu meloloskan diri dari penjara yang sangat ketat penjagaannya itu satu bulan berturut-turut menyusul kematian Steve, dan James.
_________________
"Bagaimana Brian bisa lolos?"Tanya wartawati televisi kepada kepala penjara yang masgul akibat peristiwa larinya seorang terpidana yang dikenal psikopat. Ia hanya terdiam di tengah sorot kamera. Hanya matanya yang tajam mengarah pada wartawati ini. Ia sama sekali tidak menjawab pertanyaan itu.Â
Pantas saja kepala penjara ini masgul, sebab hukum yang diterapkan di negeri ini jika terpidana melarikan diri seperti Joko Chandra, maka sebagai gantinya kepala penjara itu yang bakal dihukum mati. Dan, ia sebenarnya telah mengantongi surat eksekusi itu dari penguasa negeri di saku seragamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H