Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Eksekusi Penguasa Negeri

20 Juli 2020   22:28 Diperbarui: 21 Juli 2020   16:00 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi; Dok. pribadi

Aku melihat sebuah tiang setinggi dua meter kurang lebih. Rasanya itu adalah sebuah patok yang sengaja dipancangkan agar kita semua mengetahui posisi akhir kita di situ.

Steve terus bicara, dan James kemudian memotongnya. Kata James, ia juga pernah merasakan mimpi semacam itu. Hanya saja lokasinya tidak luas tapi sempit. Tidak ada tiang apapun, tidak ada pepohonan, juga tidak ada rerumputan. Namun tempat itu semacam ruang yang sejuk, dan di sana sini terang benderang. 

Aku merasakan kedamaian di ruang itu. Dalam mimpi itu orang-orang semua bergerak cekatan, namun dalam diam. Dari wajah mereka seperti iba dan menaruh belas kasihan padaku. Aku tidak sempat menanyakan dalam mimpi itu mengapa mereka bersikap demikian.

"Mestinya kau paksakan bertanya,"sela Steve.

"Ya, tapi seperti ada sesuatu yang menghalangi demikian kuat sehingga aku tak mampu mengatakannya. Lalu dalam mimpimu itu, apakah ada orang di sana?"

"Ada. Mereka aku rasa sekitar tujuh orang, berbaris rapi seperti memberikan hormat padaku. Sayangnya aku tidak melihat dengan jelas dalam mimpi itu, apa yang mereka bawa. Sepertinya pemukul baseball. Barangkali mereka akan mengajakku sport."

"Tidak demikian!"Brian berujar tegas.

Katanya lagi, kalian sudah dipastikan akan menghadapi regu tembak, dan tegangan listrik tinggi untuk mengakhiri hidup kalian. Kita semua tidak berkumpul seperti yang kau bilang Steve. 

Kalian sudah diberi isyarat, dan kabar lewat mimpi itu. Kalian harus bersiap dari sekarang. Kalian harus mati seperti orang yang telah mati akibat kalian bunuh. Terima itu sebagai konsekuensi dari perbuatan biadab kalian.

Mendengar apa yang dikatakan Brian, keduanya terdiam, kelu. Mulut mereka seperti terkunci. Mereka lupa tidak lagi berbicara tentang mimpi, tentang hukuman mati, dan tentang keinginan terakhir mereka sebelum menghadapi maut. Mereka tertunduk, tidak menatap satu sama lain. Brian tersenyum misterius melihat kedua orang ini yang dikenal sadis dan tanpa ampun pada korbannya.

Hari terus berjalan, hingga saatnya Steve menghadapi peluru yang dimuntahkan ke arah keningnya, dan pecah seketika. Begitu juga James, menggeliat-geliat menghadapi maut hingga hangus tubuhnya disentuh aliran listrik bertegangan tinggi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun