Jalan hidup tiap orang cendrung berbeda. Ada yang senang juga ada yang susah, bahkan ada yang biasa saja. Semua itu seperti sudah diskenariokan oleh sang maha sutradara. Siapa lagi sang maha sutradara itu kalau bukan Tuhan. Dia yang telah menjadikan tiap makhluk di bumi ini tak mampu untuk berbuat banyak manakala takdir sudah ditetapkan. Sebagaimana matahari bersinar di waktu pagi, terang bulan pada malam, dan gemerlap bintang di langit sana.
Sekejap semua itu terjadi secara bergantian. Manusia pun demikian. Tidak pandang jenis kelamin malah, ketika aral, ujian dan cobaan dalam menjalani hidup datang bertubi-tubi. Sebab itu jangan coba terpikirkan dalam benak bahwa semua persoalan buruk itu hanya menimpa diri sendiri saja.Â
Di luar sana begitu banyak persoalan yang jauh lebih buruk dari tiap orang yang tidak kita ketahui. Catatan kalimat yang Sri baca dari selembar kertas bungkus kacang goreng itu sempat menyita perhatiannya, meski sesaat. Karena habis kudapan itu, ia hempaskan kemudian kertas pembungkus tersebut. Dan, kembali sore ini ke rumah sewanya yang tak jauh dari rumah sakit di mana ia bekerja.
Sore itu semburat cahaya surya berwarna jingga di ufuk sana. Pelan-pelan akan menutupi awan, kemudian gelap datang. Sri justru tidak melihat fenomena yang wajar dan biasa saja itu. Yang terjadi tiap hari di kala musim penghujan atau bukan. Ia malah melihat pekat di sekelilingnya usai kabar yang ia terima dari Solo sana.Â
Dikabarkan oleh kerabat untuk kesekian kali, Madun suaminya kembali main gila dengan perempuan muda. Madun kerap terlihat menunggang motor berulang kali di sepanjang jalan di dekat kediamannya. Bahkan hingga bercengkrama di kediaman mereka untuk beberapa saat.Â
Sri tidak ingin percaya, tapi ini sudah kesekian kalinya. Ada kegundahan dari Sri untuk kembali saja ke Solo mengetahui dengan pasti apa sebenarnya yang terjadi. Padahal sebelum ia ke Jakarta untuk bekerja, Madun punya komitmen untuk menjaga kesetiaannya. Tapi apa boleh buat demi keutuhan rumah tangga ia kembali juga.
Sri pun tiba, dan Madun menyambutnya suka cita. Sri tahu Madun pura-pura. Tapi bukan Sri namanya jika ia tak menegur dengan keras. Beberapa hari kemudian baru ia katakan.Â
Kata Sri suatu malam, dirinya sudah mendengar kabar tentang prilaku Madun suaminya. Ia ingin pengakuan, bukan kepura-puraan. Madun sesaat  banyak dalih, ia berkilah bahwa itu sengaja dilakukan oleh orang untuk mengusik perkawinan keduanya. Tapi sayang bukti sudah dipegang Sri, dan Madun tak bisa lagi mengelak.
"Maafkan aku sayang. Rumah tangga jarak jauh itu ternyata menyulitkan bagi suamimu ini di kala rindu. Di saat datang hasrat yang tak kuasa aku tahan. Aku janji dan minta maaf untuk itu. Percayalah aku masih mencintaimu,"
Sri bergeming. Namun Madun piawai memainkan kata, mimik dan gesture tubuh seakan ia sangat menyesal, dan bersalah atas apa yang diperbuatnya. Dan Sri larut oleh buaian kata Madun, suaminya. Ia kalah, dan menyerah akhirnya di ujung lidah Madun dan hasrat cintanya di atas ranjang yang Sri tak kuasa untuk menepisnya.Â
Satu jam kemudian, Ia terkulai lemah dalam pelukan Madun, suami yang masih ia cintai ini. Satu tahun dari sini buah hati datang, dan rumah tangga berlangsung dengan tenang dan damai. Semua berjalan sebagaimana angin. Sejuk dan menyegarkan.