Malam minggu itu Pariyem yang gemuk senang tiada kepalang. Pasalnya untuk kali pertama ia didatangi Karim. Keduanya memang tengah jatuh hati. Bulan puasa lalu seakan jadi bulan berkah baginya.Â
Harapannya terkabul. Doanya seakan telah menembus langit ke tujuh. Tapi sayang, datangnya Karim yang juga tambun ini tidak dalam kaitan asmara. Tapi soal sumbangan.
Dan, Karim belum ada niat sebenarnya untuk anjangsana, secara sengaja temui Pariyem di rumahnya usai tarawih malam itu. Mungkin nanti, sekalian melamar dia, mungkin lho.
Karim saat itu tengah melakukan tugas mengedarkan list pada warga di sini. Haji Mukti sudah memintanya, dibantu juga oleh yang lain. Ada sekitar tiga orang yang diberi tugas menghimpun sumbangan, acara Malam nuzulul Qur'an ketika itu.
"Ih abang, Par seneng banget nih ada tamu istimewa. Ayo bang, masuk!Begitu Pariyem menjawab ketukan, dan salam Karim di pintu rumahnya.
"Terima kasih, Par. Kok sepi?
"Iya, bang. Si Wiet belum sampe rumah, padahal tarawih udah bubar. Ayo duduk bang! Mau minum apa bang?
"Gak usah, Par. Cuma sebentar aja kok ini."
"Ah abang, jangan gitu bang. Ini Par buatin es sirop, sama siapin ubi rebusnya, sekalian ya bang?"
"Ya, terserah Par deh. "
Sambil duduk, Karim sempati melihat dekorasi ruang tamu, juga isi perabotan di rumah Pariyem, dan adiknya si Wiet. Ada foto mereka sekeluarga. Bapak dan ibunya. Karim tersenyum melihat foto mereka.Â