"Naah, itu! Kalian yang memiliki keluarga lengkap, harus mencontoh semangat Sasa." ucap Bu Opi tersenyum, "Sasa yang anak yatim saja bisa, kenapa kalian yang punya keluarga lengkap dan mapan, tidak bisa?" kata Bu Opi menyemangati.
*****
Dua tahun kemudian, Sasa lulus dari sekolahnya dan melanjutkan ke sekolah lanjutan pertama. Setelah melewati PPDB yang menegangkan, akhirnya Sasa mendapatkan sekolah berjarak 20 km dari rumahnya.
Akibat zonasi rumah yang masuk zona tiga, dan tidak ada satu sertifikat lomba pun bisa terdaftar di sidanira, dan ketambahan lagi usianya yang merupakan lulusan termuda, membuat Sasa harus rela mendapatkan sekolah yang jauh sekali.
Sistem zonasi meruntuhkan angan Sasa, untuk bisa sekolah dekat dengan rumah, demi bisa memangkas waktu, dan juga waktu. Kini Sasa harus berangkat pagi buta dan pulang saat matahari sudah tergelincir ke peraduannya.
"Tidak apa, Ma! Daripada di swasta, insyaAllah Sasa bisa koq!" ujarnya untuk menguatkan sang mama.
"Ini jauh banget, Nak!" sahut sang ibu getir.
"Yang penting sekolah negeri, Ma!" sahut Sasa pelan.
Dia memeluk ibunya, untuk mengusir kekhawatiran di wajah wanita yang melahirkannya itu.
"Maafin mama ya, Nak!"
"Apaan sih, Ma? Sasa sudah sampai sejauh ini, semua berkat mama" sahut Sasa sambil memeluk tubuh ibunya itu semakin erat, "Sasa yang harusnya minta maaf, karena di sidanira tercantum tanpa prestasi!" lanjutnya dengan suara bergetar, "Sasa harus terima keadaan sekarang ini, lagipula hanya tiga tahun, Ma!" ujarnya sambil tersenyun, menguatkan sang mama.