"Anggi bersih-bersih dulu ya, Ma?" katanya sambil beranjak pergi.
Ana hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum. Awalnya dia ingin pergi bekerja, sepulangnya Anggi dari sekolah.
"Mama nggak jadi berangkat, kan?" bisik Putra sambil memeluk ibunya dengan manja.
"Melihat kakakmu seperti itu, mama nggak jadi berangkat, besok aja, deh!" sahut Ana tak kalah pelan.
Putra mengacungkan jempol sambil tersenyum bangga. Dia paham sekali sang ibu, yang selalu menjadikan kedua anaknya prioritas utama.
Walau sang ibu orang tua tunggal. Dia tahu persis, jika sang ibu akan selalu mengutamakan kepentingan anak-anaknya. Ana selalu berusaha ada di setiap anaknya membutuhkan supportnya.
"Ma, seberapa berartinya Anggi dalam hidup ini?" tanya Anggi tiba-tiba, "kenapa teman-teman Anggi di kelas tampak membenci semua? Anggi merasa tak punya siapa-siapa di kelas. Semua menjauhi Anggi...," katanya lagi dengan suara bergetar.
Ana memeluk tubuh putrinya, yang sudah duduk lagi di sampingnya. Diusapnya lembut punggung Anggi.
"Tadi mereka bersorak, saat ada pengumuman kalo Anggi gagal maju di babak final..., bahkan Ipah bilang akan mengajak teman-teman makan di kantin, untuk merayakan kegagalan Anggi. Tadi Anggi sempat dengar Nadira berkata -anak miskin aja belagu!-, Anggi sedih, Maaa!" lanjut Anggi sambil mengencangkan pelukannya.
Anggi terus meluapkan kesedihannya, tentang perlakuan teman-temannya di kelas. Ana terus mengusap lembut punggung Anggi, selama sang putri bercerita.
"Memang anak orang miskin tak boleh berjuang menoreh prestasi?" tanya Putra spontan.