Darah itu mengalir deras, namun tak sederas darah penyesalan, yang merembes di dinding kenangannya.
"Aaargh...!" erangnya pelan saat roda motornya selip dan nyaris tergelincir di jurang.
Dia mengusir semua rentetan kenangan, yang membuatnya tak fokus. Dia menembus rintik hujan.
"Mang, mau ke mana?" tegur suara halus yang sangat dia kenal.
"Eh, mau ke Jakarta!" sahutnya seraya mengerem motor.
Matanya mencari asal suara itu. Tak ada siapa-siapa. Bulu kuduknya meremang, saat mengenali sebuah gubuk tua, tempatnya dulu "bermain api", dengan Yuli, istri orang.
"Aaargh!" dengusnya kesal, "masa iya ada setan lepas di bulan puasa?" ujarnya seraya melarikan motor.
Hari sudah malam. Dia harus segera sampai ke Jakarta, sebelum tengah malam lewat. Yayah mengancam akan bunuh diri, jika esok hari dia tak menemaninya shalat Idul Fitri.
Jam baru saja menunjukkan pukul 21.34. Laju motornya sudah menembus jalanan Pondok Gede.
"Ayah!"
Marko melihat seorang gadis kecil bertubuh sangat kurus, tengah melambai dan tersenyum semringah ke arahnya.