Saat Takbir Bergema
Karya. Ersalrif
Laju motor matik itu, berjuang dengan gigih menembus jalan rusak perkampungan. Sedangkan pikiran Marko sudah berada di Jakarta, mendahului raganya, yang masih dalam perjalanan.
"Ayah akan segera datang, Nak!" ujarnya berbisik, untuk menyemangati diri.
Dia bertekad untuk menjenguk putra-putrinya hari itu. Walau Yayah, sang istri muda tak merestui kepergiannya.
"Untuk apa ke Jakarta? Bilang aja kamu kangen istri tuamu itu, hah..." pekik Yayah seraya menghentakkan kaki dengan kesal, "seperti tak tahu malu, menghampiri orang yang sudah kau khianati, dengan alasan kangen anak. Modussss!" sergahnya sambil melemparkan gelas, yang bisa diraihnya.
Prang!
Suara gelas itu memekakkan telinga, dan juga kenangan Marko akan Elis. Istri yang sudah dia campakkan, demi kesenangan pribadi.
Lengannya tersayat serpihan gelas, yang terpental. Dia hanya diam. Matanya menatap goresan beling, yang meneteskan darah.
Ingatannya ditarik paksa, saat dia berada di pintu ruang operasi.
"Pak Marko, saya turut berduka cita, ini jenazah bayi anda, segera dikebumikan ya, Pak!" ujar Suster Ayoh, sembari menyerahkan bayinya yang membiru.
Mata Marko terbelalak melihat istrinya menangis di atas meja operasi. Ada darah sempat terlihat olehnya. Para dokter tengah sibuk menangani operasi cesar. Pintu ruangan itu tertutup. Marko tetap membeku dengan bayi yang berada di pelukannya.