Dia meraba pantatnya, dan mendapati sebuah pensil sudah patah, akibat dia duduki tadi.
"Hihi..., lagian Papa, siih! Di sini maah kacau balau, kotor dan bau...," celetuk Bu Santi sambil cengengesan, sambil menatap ke sekeliling ruangan itu dengan tatapan menghina.
"Maaf, Paman! Amel yang teledor meletakan pensil di situ, ibu kami sudah sangat sibuk bekerja, dan kami yang salah!" ujar Amel berusaha membela dan melindungi ibunya agar tak mendapat hujatan lagi.
 Matanya tanpa sadar melirik kedua saudara sepupunya, yang tengah membongkar bungkusan dari sebuah restoran cepat saji.
Mata Amel juga melihat ke arah Salman, yang tengah menelan liur, melihat Sandi dan Sari yang menyantap makanan itu begitu lahap.
Sudah kebiasaan mereka, selalu pamer makanan kepada Amel dan Salman. Amel merasa sedih sekali melihat Salman yang kelihatan menelan ludah seperti itu, saat melihat kedua saudaranya itu, yang tengah asyik menikmati makanan, tanpa perasaan bersalah sedikitpun.
Tangan Amel mengusap punggung Salman. Dirangkul pundak Salman, untuk diajak masuk ke kamar, sekalian dia ingin membuatkan minuman untuk tamu yang tak diharapkan itu.
Tiba-tiba saja langkah Amel terhenti. Dia mendengar sang paman kembali menghina ibunya.
"Si Hani ini b3go banget, sih? Anaknya nggak keurus begini, dekil dan bau banget nih rumah...," makinya seperti biasa.
"Ini salah Amel, Paman!" sergah Amel lagi, dengan rasa nyeri di hati, mendengar sang ibu selalu dimarahi dan dibentak oleh saudaranya yang kaya raya itu.