Amel yang mengaminkan doa, tampak segera menyeka air mata yang berlinangan, agar adiknya tak melihat.
"Kak?" ujar Salman seraya meraih tangan sang kakak dan menciumnya takjim, "Alman mau tunggu ibu lagi...," serunya sambil beranjak menaiki sofa, dan menatap nanar keluar jendela.
Dia terlonjak kegirangan sesaat, melihat sorot lampu sebuah kendaraan yang menuju ke rumahnya. Raut wajahnya menjadi sendu, itu bukan sorot dari motor sang ibu, tapi sorot dari lampu mobil milik saudara ibunya, yang sering datang, dan sering mengeluarkan kata kasar pada wanita yang dikasihinya itu.
"Kak?" gumamnya dengan sorot sedih.
"Iya, De?" sahut Amel sambil melongo ke luar rumah, "jangan sedih, kita harus kuat demi ibu!" ujar Amel sambil mengusap lembut kepala adiknya.
Tok, tok, tok!
Suara pintu diketuk. Amel segera membukakan pintu untuk paman dan keluarganya itu.
Amel meraih tangan sang paman, bibi dan kedua saudara sepupunya yang sudah berdiri di depan pintu, mencium punggung tangan mereka dengan takjim, diikuti oleh Salman.
Bu Hani selalu mengajarkan anak-anaknya untuk menghormati setiap tamu yang datang.
"Ibu kalian ke mana?" tanya Pak Dika sambil menghempaskan pantat di sofa butut dan keras, "aduh!" pekiknya keras.