Mohon tunggu...
Ersalrif Ersalrif
Ersalrif Ersalrif Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Saya seorang single mom, bekerja serabutan. Hobi saya membaca, menulis, melukis dan daur ulang barang bekas. Saya seorang yang introvert, tapi berusaha belajar untuk dua buah hati saya. Menulis adalah sarana healing untuk hidup saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selamat Hari Ibu!

26 Desember 2022   14:26 Diperbarui: 26 Desember 2022   14:35 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar oleh Salwa Amalia Kaysan di salwaak01/instagram.com/salwaak01


Selamat Hari Ibu, Bu!
Karya. Ersalrif

Air hujan masih terus mengguyur muka bumi. Perlahan tirai kegelapan turun menyelimuti persada. Wajah Amel tampak muram menatap  jalan di hadapannya.

"Sudah maghrib, Kak!" Tegur Salman sambil duduk di samping sang kakak, "belum pulang juga, ya?" tanyanya lirih, sembari merangkul lengan kakaknya.

Amel menggelengkan kepala dengan perlahan. Dirangkul pundak Salman dan didekap dengan sayang.

"Kita tutup pintu, lalu shalat dulu, yuk!" ajak Amel sembari bangkit menutup daun pintu rumahnya.

Selimtas dia melihat lagi jalanan, berharap sang ibu melewati gerbang komplek untuk pulang.

"Mungkin ibu sedang mengejar target, sebelum memasuki libur tahun baru, De!" desis perlahan.

Salman mengangguk pelan, dan mengikuti langkah sang kakak untuk mengambil air wudhu. Mereka mandiri sejak usia dini, karena ditempa keadaan.

Tak lama dia sudah menjalankan ibadah bersama sang adik yang berusia lima tahun itu.

"Ya Allah, berkahi usaha dan usia ibu kami. Tolong jaga selalu ibu di manapun beliau berada, dan sayangi seperti ibu menyayangi kami, aamin." Doa Salman lancar dengan suara bergetar.

Ilustrasi oleh Salwa Amalia Kaysan. IG. salwaak01/instagram.com/salwaak01
Ilustrasi oleh Salwa Amalia Kaysan. IG. salwaak01/instagram.com/salwaak01

Amel yang mengaminkan doa, tampak segera menyeka air mata yang berlinangan, agar adiknya tak melihat.

"Kak?" ujar Salman seraya meraih tangan sang kakak dan menciumnya takjim, "Alman mau tunggu ibu lagi...," serunya sambil beranjak menaiki sofa, dan menatap nanar keluar jendela.

Dia terlonjak kegirangan sesaat, melihat sorot lampu sebuah kendaraan yang menuju ke rumahnya. Raut wajahnya menjadi sendu, itu bukan sorot dari motor sang ibu, tapi sorot dari lampu mobil milik saudara ibunya, yang sering datang, dan sering mengeluarkan kata kasar pada wanita yang dikasihinya itu.

"Kak?" gumamnya dengan sorot sedih.

"Iya, De?" sahut Amel sambil melongo ke luar rumah, "jangan sedih, kita harus kuat demi ibu!" ujar Amel sambil mengusap lembut kepala adiknya.

Tok, tok, tok!

Suara pintu diketuk. Amel segera membukakan pintu untuk paman dan keluarganya itu.

Amel meraih tangan sang paman, bibi dan kedua saudara sepupunya yang sudah berdiri di depan pintu, mencium punggung tangan mereka dengan takjim, diikuti oleh Salman.

Bu Hani selalu mengajarkan anak-anaknya untuk menghormati setiap tamu yang datang.

"Ibu kalian ke mana?" tanya Pak Dika sambil menghempaskan pantat di sofa butut dan keras, "aduh!" pekiknya keras.

Dia meraba pantatnya, dan mendapati sebuah pensil sudah patah, akibat dia duduki tadi.

"Hihi..., lagian Papa, siih! Di sini maah kacau balau, kotor dan bau...," celetuk Bu Santi sambil cengengesan, sambil menatap ke sekeliling ruangan itu dengan tatapan menghina.

Ilustrasi oleh Salwa Amalia Kaysan. IG salwaak01/instagram.com/salwaak01
Ilustrasi oleh Salwa Amalia Kaysan. IG salwaak01/instagram.com/salwaak01

"Maaf, Paman! Amel yang teledor meletakan pensil di situ, ibu kami sudah sangat sibuk bekerja, dan kami yang salah!" ujar Amel berusaha membela dan melindungi ibunya agar tak mendapat hujatan lagi.

 Matanya tanpa sadar melirik kedua saudara sepupunya, yang tengah membongkar bungkusan dari sebuah restoran cepat saji.

Mata Amel juga melihat ke arah Salman, yang tengah menelan liur, melihat Sandi dan Sari yang menyantap makanan itu begitu lahap.

Sudah kebiasaan mereka, selalu pamer makanan kepada Amel dan Salman. Amel merasa sedih sekali melihat Salman yang kelihatan menelan ludah seperti itu, saat melihat kedua saudaranya itu, yang tengah asyik menikmati makanan, tanpa perasaan bersalah sedikitpun.

Tangan Amel mengusap punggung Salman. Dirangkul pundak Salman, untuk diajak masuk ke kamar, sekalian dia ingin membuatkan minuman untuk tamu yang tak diharapkan itu.

Tiba-tiba saja langkah Amel terhenti. Dia mendengar sang paman kembali menghina ibunya.

"Si Hani ini b3go banget, sih? Anaknya nggak keurus begini, dekil dan bau banget nih rumah...," makinya seperti biasa.

"Ini salah Amel, Paman!" sergah Amel lagi, dengan rasa nyeri di hati, mendengar sang ibu selalu dimarahi dan dibentak oleh saudaranya yang kaya raya itu.

Gadis kecil itu berusaha membela sang ibu lagi dan lagi. Namun, itu selalu tak berguna, dia tetap mendengar sang paman dan bibi mem4ki dan menghujat ibunya terus menerus.

Kini Amel berharap ibunya tidak pulang, agar tak mendengar hujatan dari saudaranya itu, atau setidaknya jangan pulang, sebelum keluarga pamannya ini pulang. Dia tak ingin ibunya dihina, dan dimaki-maki lagi.

Bu Hani berjuang sendirian menafkahi kedua anaknya itu. Dia memang sungguh tidak beruntung. Sang suami meninggal dunia dalam suatu kecelakaan hebat, bersama selingkuhannya, dan meninggalkan hutang di mana-mana.

 Pasca kematiannya, keluarga sang suami mengambil semua uang asuransi dan mengklaim Bu Hani sudah dicerai, hingga tak berhak mengambil uang asuransi dan juga harta warisan.

Bu Hani saat itu baru saja melahirkan Salman lewat operasi cesar. Dia memutuskan untuk diam. Dipeluk kedua anaknya dan tetap percaya pada rencana Tuhan.

Bu Hani adalah wanita yang sederhana, yang berusaha menjadi seorang ibu yang kuat untuk kedua anak-anaknya. Dia bertekat sangat kuat untuk membuat Amel dan Salman bahagia.

Sepulang dari rumah sakit, Bu Hani diusir dari rumah kontrakan, karena sang suami tak membayarkan uang kontrakan yang dititipkan Bu Hani. Padahal itu hasil kerja serabutan selama ini.

Bu Hani bekerja mati-matian, untuk menutupi sebagian besar kebutuhan keluarganya, karena punya suami yang sangat pelit dan juga perhitungan.

Belum lagi, sang suami juga punya hobi selingkuh di luaran sana, pemalas dan terbiasa dimanfaatkan oleh keluarganya di kampung. Walau harus memeras istri, Pak Dan ini tak perduli.

Bu Hani disuruh banting tulang, untuk membantu keluarga sang suami. Setiap Bu Hani ada uang sedikit saja, Pak Dan pasti meminta dengan paksa. Bu Hani hanya diam seribu bahasa, karena tak ingin Amel melihatnya dim4ki lagi.

Bu Hani memendam kesedihannya. Dia tak ingin Amel sedih. Setiap hinaan ditelannya sendiri.

 Amel kembali mendengar makian Pak Dika, saat datang ke rumah menjenguk ibu dan adiknya yang baru pulang dari rumah sakit.

"Eh, lu b3go amat, sih? Itu hak lu dan anak-anak, ambil! Kalo perlu aduin aja, biar mereka kena malu!" ujar Pak Dika saat itu dengan keras.

Bu Hani bergeming, dia sudah terbiasa disebut b3go, dan cacian lainnya dari mulut saudaranya itu.

Amel sedikit banyak memahami kekisruhan yang dilakukan ayah dan keluarganya itu. Dia juga melihat debt collector mengambil motor di teras, saat sang ibu tengah berjuang di meja operasi.

Bahkan gadis kecil itu hanya diam membatu, saat sang kakek datang, dan memberi sebuah amplop besar bertuliskan "akte cerai", sambil berpesan, "kalo ibumu pulang, berikan ini! Bilang padanya jangan menginjakkan kaki ke kampung, pokoknya jangan! Kalian itu pembawa sial, yang bikin aku kehilangan anak".

Amel berusaha berdiri tegar demi sang ibu. Dia tak ingin ibunya melihat kesedihannya.

"Bertahanlah, Bu..., kumohon!" desis Amel lirih, "ada saatnya nanti ingin kulihat kau mengangkat wajah yang selalu tertunduk itu..." ujarnya lirih setiap melihat wanita yang melahirkannya itu tertunduk sedih.

Amel sungguh tak percaya. Ibunya itu dim4ki oleh seluruh orang yang disebut "keluarga-saudara". Tak ada satupun yang berkata baik tentang ibunya itu.

Amel sedih sekali melihat situasi berat yang tengah melanda mereka. Kakek dan keluarga dari pihak ayahnya itu datang, bukan untuk menjenguk ibu dan adik laki-lakinya yang baru lahir. Mereka datang hanya untuk mengambil alih seluruh harta bersama kedua orang tuanya.

Amel menatap sendu ke arah sang ibu yang tertunduk sambil tersenyum manis pada Salman. Dia tahu, ibunya itu berusaha tegar di hadapan setiap orang.

"Biarin aja, mungkin mereka lebih butuh!" sahut Bu Hani lemah pada kakak lakinya.

"Dasar b3go!" seru Pak Dika dengan sengit.

Tampak ibunya itu meringis, sambil memegangi perut, yang masih terasa sakit. Sang paman tetap tak ambil pusing, atau merasa kasihan pada saudara perempuannya yang menjanda, pasca ditinggal mati suami dan "dirampok" mertua dan saudara iparnya itu.

"Rumah yang di kampung, tau-tau udah dijual, elu tau?" tanya Pak Dika sambil melotot, "itukan belinya dari uang pesangon lu dulu..., udah gue bilang suami dan mertua lu itu b4jingan!" m4kinya kian marah.

Air mata Bu Hani meleleh, membasahi pipinya. Bibirnya yang pucat bergetar. Dia menahan isakannya, sambil berusaha beristighfar dengan pelan.

"Pa, itu ada akte cerai digantung!" ujar Bu Santi.

"Busyet dah! Bener-bener brengs3k mereka!" seru Pak Dika menggelegar.

Salman yang waktu itu tengah terlelap, langsung menangis keras karena kaget. Bu Hani langsung menyusui bayinya itu. Dia berusaha untuk diam seribu bahasa.
Amel menatap kasihan pada sang ibu.

Waktu berlalu begitu cepat. Salman kini berusia lima tahun, besar tanpa figur sang ayah. Amel berusaha membantu sang ibu dengan menjaga Salman, jika ibunya itu pergi bekerja.

Amel bertekad berusaha mengangkat harga diri ibunya yang selalu diinjak-injak dan selalu dihina. Gadis kecil itu berusaha dan bertekad kuat.

Dalam keterbatasannya, dia selalu meraih prestasi. Hingga dia memperoleh penghargaan beberapa kali.

"Amel, siapa inspirasimu?" tanya seorang wartawan.

"Ibuku..., inspirasi Amel adalah beliau. Ibu Amel ibarat Guardian Angel bagi kedua anak-anaknya. Terima kasih, Bu!" sahut Amel sembari menatap manik mata Bu Hani yang tengah menatap putri sulungnya itu dengan bangga, "I love you!" katanya lagi sambil melempar ciuman jauh, kepada sang ibu yang mulai menangis terharu.

Bu Hani menangkap ciuman jauh Amel dan mendekapnya di dada.
Setelah selesai wawancara, Amel berlari menghampiri Bu Hani. Dipeluknya erat tubuh wanita yang sangat dia cintai itu.

"Selamat hari ibu, Bu!" ucapnya dengan bergetar, "tetaplah kuat untuk kami ya, Bu. Terima kasih kau sudah mengasihi dan berjuang begitu hebat demi kami." katanya pelan.

"Terima kasih, Anakku." sahut Bu Hani dengan lelehan air mata bahagia.

Mereka mengusap air mata. Melangkah bersama di jalan penuh duka. Menyongsong masa depan dengan tekad kuat.

Hidup memang sebuah perjalanan yang singkat dan penuh misteri. Banyak pilihan untuk setiap insan dalam menjalaninya.

Tetaplah kuat untuk seluruh ibu dan calon ibu di manapun kalian berada. Kuatkan tekad demi masa depan anak-anakmu.

Jangan jadikan ibumu sebuah peringatan hanya di hari ibu saja. Berikan cinta untuk beliau di setiap tarikan napasmu, karena kau takkan mampu membalas semua perjuangannya.

Seorang ibu mampu merawat dan membesarkan banyak anak dengan kasih sayang, dan kesabaran yang luar biasa. Sedangkan beberapa anak belum tentu bisa merawat seorang ibu dengan level yang sama.

Ingat kata pepatah, "Kasih Ibu sepanjang masa, sedangkan kasih anak sepanjang galah."

Selamat hari ibu 2022.

(Cerita hanya fiktif, semoga menginspirasi pembaca.)

Jakarta, 22 Desember 2022.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun