“Dengan kejadian yang kami lihat sendiri, serapah itu tampaknya benar,” tambahnya.
“Mengapa warga tidak pindah saja, Pak?” tanyaku.
“Sumpah itu melekat pada semua warga yang ada pada waktu itu dan keturunannya. Jadi, pindah pun tidak berpengaruh. Warga juga khawatir kalau kepindahan mereka malah meluaskan serapah itu ke daerah lain,” ujar kepala desa.
Meskipun sudah terjadi cukup lama, peristiwa itu terkunci dari dunia luar. Pantas saja, informasinya luput dari publik. Warga sepakat untuk tidak menceritakan kepada orang luar, dengan harapan serapah itu akan punah sendiri.
Setiap warga yang tidak bisa berdamai dengan diri sendiri, baik karena kenangan, memori, akar pahit, dendam, maupun hal lain semacamnya, akan serta-merta mendapati gelas dalam genggamannya. Berwana, tapi tembus pandang. Modelnya sama. Sedikit berkerut dan bergaris di bagian bawah, mirip belimbing. Warga desa menyebutnya gelas belimbing.
Begitu mendapat gelas, warga sudah paham harus buru-buru ke lapangan. Jika tidak, gelas bisa pecah di rumah dan hal ini dipercaya akan membawa musibah bagi keluarga.
“Belum lama ini, seorang ibu tidak mau ke lapangan. Dia tetap di rumah. Akhirnya, semua anggota keluarganya ikut memegang gelas. Mereka jadi ribut sendiri, saling menyalahkan, dan akhirnya gelas-gelas itu pecah semua di rumah,” kata seorang warga.
“Semuanya meninggal. Kami tidak punya cara lain kecuali membiarkan dulu rumah itu seminggu, sampai mayat-mayat itu kering dan tidak bau. Baru kami kuburkan,” kata warga yang lain.
Gelas-gelas yang baru muncul bisa hijau, kuning, atau langsung merah dan sejam kemudian pecah. Tergantung pada seberapa dalam beban batin yang membekas dan terus dipikirkan oleh yang bersangkutan. Makin dipikirkan, makin memicu perubahan warna gelas dari hijau ke kuning, lalu merah.
Tidak hanya perempuan yang kedapatan memegang gelas. Laki-laki juga ada, tapi jumlahnya jauh lebih sedikit. Mengenai usia, belum ada jawaban mengapa anak-anak tidak pernah terkena kasus serupa.
“Kami juga tidak tahu, Bu, kenapa perempuan lebih banyak. Tapi, kenyataannya memang seperti itu,” kata warga lain sembari mengintip apa yang aku torehkan di buku gawaiku.