"Bapak Luis kritis. Sudah kami bawa ke rumah sakit," kata suara di seberang telepon. Dia adalah salah satu petugas di rumah jompo.
"Baik, saya segera ke sana," kata Kalena.
Tak lama kemudian, telepon berdering lagi. Kali ini dari tante Kalena, yang menanyakan bagaimana pendapat Kalena tentang tindakan darurat yang mesti dilakukan terhadap Luis. Keputusan harus diambil segera.
Luis didapati tidak sadarkan diri di kamar. Seorang petugas masuk kamar Luis, karena seusai sarapan Luis tidak muncul lagi hingga jam makan siang. Luis diduga terkena stroke.
Luis tidak bisa lagi bernapas sendiri. Rumah sakit menilai perlu dilakukan tindakan pemasangan ventilator untuk membantu pernapasannya. Hanya saja, ada ketentuan yang mengharuskan keluarga menandatangani surat pernyatan setuju pemasangan ventilator dan tindakan tambahan berupa resusitasi juga suatu saat jantungnya terindikasi berhenti. Persetujuan di atas materai diperlukan, karena tindakan-tindakan itu berisiko tinggi.
Perempuan berusia empatpuluhan itu meminta telepon diteruskan ke pihak rumah sakit dan menyerahkan wewenang persetujuan kepada tantenya. Kalena segera menemui atasannya dan meminta izin meninggalkan pekerjaan, karena situasi darurat yang menimpa ayahnya.
Selama dalam perjalanan pulang, Kalena berdoa, semoga dia masih bisa bertemu dengan ayahnya, meminta maaf karena tidak bisa maksimal merawat dan mendampinginya. Dia ingin meyakinkan ayahnya bahwa dia sangat mencintainya.
Dia berharap tidak ada telepon yang masuk dari rumah jompo atau pihak rumah sakit sebelum dia sampai. Hatinya cukup was-was karena tidak mau itu terjadi.
Kalena langsung menuju rumah sakit. Dia tidak tega melihat ayahnya sudah dipasangi alat bantu pernapasan. Selang besar dimasukkan ke tubuh Luis lewat mulut. Luis masih tidak sadarkan diri.
Dua hari Kalena tidak pulang. Dia menunggui Luis di rumah sakit, bersama tante dan kerabat yang lain. Dia tidak mau kehilangan momen seperti ayahnya terhadap ibunya.
Sama seperti Luis dulu, Kalena memikirkan kenyataan terpahit yang mungkin terjadi. Dia tidak mau beranjak dari kamar tunggu buat keluarga pasien rawat intensif.