Mohon tunggu...
ERRY YULIA SIAHAAN
ERRY YULIA SIAHAAN Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis, guru, penikmat musik dan sastra

Menyukai musik dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Mengalami Tuhan"

22 April 2023   23:57 Diperbarui: 23 April 2023   15:27 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Ilustrasi: Lifeway.com)

Hikmat,” jawab seseorang kala saya bertanya apa yang paling dimintanya saat berdoa.

Dia meminta hikmat, khususnya pada awal ibadah. Dia ingin bisa memahami setiap Firman yang dibacanya. Termasuk nas-nas dalam ibadah rutin setiap pagi bersama isterinya, sebelum mereka melakukan kegiatan sehari-hari.

Sepanjang yang saya tahu, dia dan isterinya memang sangat teladan dalam penerapan kasih. Dari cara berbicara, bersikap, bertingkahlaku, sampai ke soal merencanakan atau merespon kejadian. Di tengah kondisi ekonomi yang serba terbatas, mereka tidak mengeluh. Saya perhatikan, mereka tetap memberikan sumbangan di tengah kesulitan hidup.

Mereka juga sangat sopan dalam bersikap dan bertuturkata. Tidak pernah saya dengar keluar kata atau sikap kasar dari mereka. Jika ada yang kurang sreg bagi mereka, misalnya perbincangan ke arah yang kurang baik, sepanjang yang saya perhatikan, mereka lebih memilih diam dan menghindari lanjutan pembahasan ke arah sana.

Saya seringkali berdiskusi dengan mereka. Kalau saya mempunyai pertanyaan, mereka tidak mau asal menjawab jika memang tidak tahu persis masalahnya. Si suami biasanya diam. Tetapi, saya tahu, pertanyaan saya itu dibawanya dalam pergumulan, hingga suatu hari jika bertemu lagi dengan saya, dia akan mengatakannya.

Ketika ada informasi bahwa ada saudara atau keluarga yang mengalami masalah, mereka selekasnya datang. Kondisi keluarga dan saudara-saudaranya ikut menjadi pergumulan mereka. Semua dibawa dalam doa syafaat setiap hari.

Berpuasa

Saya tidak akan tahu bahwa dia (yang suami) sedang berpuasa jika isterinya tidak memberitahukan.

Pernah suatu kali, selama sekitar seminggu, dia membantu memperbaiki pintu pagar di rumah saya. Engselnya ada yang rusak. Selain usianya sudah tua, pintu pagar itu memiliki engsel yang ternyata keliru memasangnya, ketika dulu pertama kali pagar itu dibuat. Itu berpengaruh pada daya tahan pintu pagar, terutama bagian engselnya, apalagi pagar sering dibuka-tutup.

Pagar itu terdiri dari empat lembar pintu, terbuat dari batang-batang besi persegi panjang yang disusun horisontal. Antarlembar terhubung dengan tiga engsel, di atas, di tengah, dan di bawah. Pagar-pagar itu semestinya dibuka ke arah luar, apalagi karena lantai yang ke arah dalam agak menanjak sehingga bukaan pintu tidak bisa lebar-lebar karena terganjal permukaan lantai yang meninggi ke arah garasi.

Diperlukan waktu sekitar seminggu untuk memperbaikinya. Pintu pagar dilepas, dengan mengangkatnya agar tonjolan-tonjolan di pintu terlepas dari lubang-lubang engsel. Bagian yang berkarat digergaji, diganti dengan potongan besi yang baru. Besi-besi kemudian diamplas, sebelum diberi pelapis dan dicat.

Sebagian besar pekerjaan berlangsung di area terbuka, di depan garasi yang tidak berkanopi. Bisa dibayangkan bagaimana letihnya mengerjakan itu. Terutama saat siang hari, ketika matahari begitu terik.

Saya sejak awal sudah menawarinya minuman atau makanan, dia menggeleng.

"Tidak usah," katanya.

Isterinya yang ikut datang ke rumah, menjelaskan bahwa suaminya sedang berpuasa. Dia berpuasa setiap hari dari pagi hingga malam, kecuali hari Minggu.

Jam buka puasanya adalah pukul sembilan malam. Dia sudah meniatkan berbuka puasa di rumah. Jadi, jika sedang ada keperluan atau kegiatan di luar rumah, selarut malam apapun dia tidak akan berbuka apabila belum sampai rumah.

Dia juga pernah memperbaiki pompa rumah. Dibantu oleh anak saya, dia memperbaiki pompa dengan beberapa kali harus mengangkat sebagian pipa sambungan ke tanah. Dia di rumah sampai malam. Dia tetap tidak berbuka puasa, walaupun masih harus menempuh perjalanan 30 kilometer naik motor untuk pulang.

Yang saya heran, selama dia berpuasa, dia tidak menunjukkan bahwa dia berpuasa, atau seperti orang yang kehausan atau lapar. Emosinya sangat terjaga. Kalem. Sopan. Saya menyebutnya, "berhikmat".

Saya teringat dengan nas dalam Alkitab perihal berpuasa. "16 Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. 17 Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, 18 supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Matius 6 ayat 16 sampai 18)

Dia memang mengagumkan, tetapi saya tidak mau memujinya berlebihan. Dia tidak suka dipuji. Saya juga tidak mau terjadi semacam pengkultusan. Sebab, di balik itu semua, Tuhan yang bekerja. Tuhan adalah sumber hikmat. Selayaknya, Tuhan yang ditinggikan.

Hikmat itu sendiri, merujuk Alkitab, seperti dijelaskan oleh Pdt. Bigman Sirait dalam situs Reformata, adalah pengertian (Ayub 39 ayat 17), kebijakan, atau bijaksana (Mazmur 136 ayat 5). Jadi, hikmat bukanlah pengetahuan teoritis. Ia tidak terkait dengan intelligence quotient (IQ) yang bisa menjadi ukuran untuk mengatakan seseorang itu pintar atau tidak. Hikmat itu lebih bersifat praktis. Hikmat terhubung dengan kedewasaan dan pengalaman hidup. Hikmat terletak pada sikap hati (1 Raja-raja 3 ayat 9), yang membuat seseorang berpengertian, bijaksana. 

"Sehingga keputusan-keputusannya seringkali melebihi kepintaran yang tanpa kebijaksanaan. Banyak orang pintar gagal, tapi keberhasilan orang berhikmat besar. Inilah defenisi hikmat," jelas Sirait.

"Mengalami Tuhan"

Saya bersyukur bahwa saya masih menemukan orang-orang demikian di dekat saya. Saya menyebut karakter suami-isteri itu sebagai penerapan sesungguhnya dari arti kasih. Orang-orang yang berhikmat. Baru-baru ini, saya mengemasnya juga dalam istilah orang yang sudah "mengalami Tuhan".

Istilah "mengalami Tuhan" ini makin akrab di telinga saya, khususnya setelah hal serupa diingatkan oleh Pdt. M Nainggolan pada ibadah di Sektor 5 HKBP Cibinong Ressort Cibinong, Selasa (18 April 2023) malam. Sektor 5 adalah wilayah di mana saya tinggal.

Nainggolan menegaskan, sebagai orang yang dewasa dalam iman, kita tidak cukup mengetahui tentang Tuhan, melainkan perlu "mengalami Tuhan". Sekadar "mengetahui Tuhan", katanya, membuat kita masih seperti anak kecil, yang mudah "merengek" jika mengalami kondisi yang tidak menyukakan kita. Sebaliknya, "mengalami Tuhan", membuat kita tegar dan bersyukur serta percaya semua yang terjadi adalah dalam pengetahuan dan kendali Tuhan.

Kata "mengalami", menurut kamus, berarti belajar melalui suatu pengalaman. Jadi, "mengalami Tuhan" bisa diartikan sebagai mengenal Tuhan dan melakukan apa yang Tuhan kehendaki, dalam rangka menjaga relasi kita dengan Tuhan.

"Mengalami Tuhan", kata seorang penulis dari Filipina, Guthrie Hynes, adalah berjalan berdasarkan iman, bukan penglihatan (dengan mata dunia). Ini bisa kita simak dari bagaimana Nabi Nuh, Nabi Abraham, dan Nabi Musa melakukan perintah Allah untuk melakukan sesuatu yang menurut kacamata dunia "tidak mungkin".

Dalam Matius 4 ayat 19, "Yesus berkata kepada mereka: "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." Hal ini direspon oleh yang mendengarnya (murid-murid Tuhan Yesus) sebagai berikut, "20 Lalu merekapun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. 21 Dan setelah Yesus pergi dari sana, dilihat-Nya pula dua orang bersaudara, yaitu Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya, bersama ayah mereka, Zebedeus, sedang membereskan jala di dalam perahu. Yesus memanggil mereka 22 dan mereka segera meninggalkan perahu serta ayahnya, lalu mengikuti Dia."

Tuhan mempunyai rencana baik untuk setiap orang. Untuk bisa "mengalami Tuhan" kita perlu percaya pada panggilan-Nya. Bersabar. Tuhan terus bekerja, meskipun kita tidak melihat Dia sedang bekerja. 

Kita meminta yang baik, pasti diberikan-Nya. Waktu-Nya adalah waktu yang terbaik, karena Dia Maha Tahu. Tuhan itu Allah yang setia. "Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat." (1 Petrus 4 ayat 19)

Penulis buku terkenal "Experiencing God", Henry T Blackaby, mengatakan, "mengalami Tuhan" berarti "mengenal Tuhan dan melakukan kehendak Tuhan". Buku itu, sejak diluncurkan pada 1990, dilaporkan telah mengubah hidup secara radikal jutaan orang dan ribuan gereja di seluruh dunia.  Orang-orang itu adalah narapidana, personel militer, pengacara, hakim, CEO, atlet profesional, politisi, dan orang tua. Banyak yang sekarang melayani sebagai misionaris, pendeta, penginjil, dan menjadi hamba yang setia. 

Bagaimana bisa? 

Itu rahasia Tuhan.

Menurut saya, orang yang meminta hikmat dari Tuhan dan menerimanya adalah orang-orang yang terberkati. Dengan anugerah itu, seseorang bisa menghadapi berbagai persoalan dan menjalani kehidupan dengan hati penuh rasa syukur dan tetap bersukacita. Sebab, dia tahu, semuanya ada di bawah kuasa-Nya.

Semoga saya dan Anda termasuk yang beruntung mendapatkan anugerah itu. Amin. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun