Sebagian besar pekerjaan berlangsung di area terbuka, di depan garasi yang tidak berkanopi. Bisa dibayangkan bagaimana letihnya mengerjakan itu. Terutama saat siang hari, ketika matahari begitu terik.
Saya sejak awal sudah menawarinya minuman atau makanan, dia menggeleng.
"Tidak usah," katanya.
Isterinya yang ikut datang ke rumah, menjelaskan bahwa suaminya sedang berpuasa. Dia berpuasa setiap hari dari pagi hingga malam, kecuali hari Minggu.
Jam buka puasanya adalah pukul sembilan malam. Dia sudah meniatkan berbuka puasa di rumah. Jadi, jika sedang ada keperluan atau kegiatan di luar rumah, selarut malam apapun dia tidak akan berbuka apabila belum sampai rumah.
Dia juga pernah memperbaiki pompa rumah. Dibantu oleh anak saya, dia memperbaiki pompa dengan beberapa kali harus mengangkat sebagian pipa sambungan ke tanah. Dia di rumah sampai malam. Dia tetap tidak berbuka puasa, walaupun masih harus menempuh perjalanan 30 kilometer naik motor untuk pulang.
Yang saya heran, selama dia berpuasa, dia tidak menunjukkan bahwa dia berpuasa, atau seperti orang yang kehausan atau lapar. Emosinya sangat terjaga. Kalem. Sopan. Saya menyebutnya, "berhikmat".
Saya teringat dengan nas dalam Alkitab perihal berpuasa. "16 Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. 17 Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, 18 supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Matius 6 ayat 16 sampai 18)
Dia memang mengagumkan, tetapi saya tidak mau memujinya berlebihan. Dia tidak suka dipuji. Saya juga tidak mau terjadi semacam pengkultusan. Sebab, di balik itu semua, Tuhan yang bekerja. Tuhan adalah sumber hikmat. Selayaknya, Tuhan yang ditinggikan.
Hikmat itu sendiri, merujuk Alkitab, seperti dijelaskan oleh Pdt. Bigman Sirait dalam situs Reformata, adalah pengertian (Ayub 39 ayat 17), kebijakan, atau bijaksana (Mazmur 136 ayat 5). Jadi, hikmat bukanlah pengetahuan teoritis. Ia tidak terkait dengan intelligence quotient (IQ) yang bisa menjadi ukuran untuk mengatakan seseorang itu pintar atau tidak. Hikmat itu lebih bersifat praktis. Hikmat terhubung dengan kedewasaan dan pengalaman hidup. Hikmat terletak pada sikap hati (1 Raja-raja 3 ayat 9), yang membuat seseorang berpengertian, bijaksana.Â
"Sehingga keputusan-keputusannya seringkali melebihi kepintaran yang tanpa kebijaksanaan. Banyak orang pintar gagal, tapi keberhasilan orang berhikmat besar. Inilah defenisi hikmat," jelas Sirait.