Hari itu, saya diminta memberikan kata sambutan mewakili orangtua dan jemaat.
"Inang, tolong kasih sambutan ya," kata Kak Martha, salah seorang GSM.
Saya semula menolak. Saya merasa kurang pantas mewakili orangtua dan jemaat, karena siapalah saya, begitu pikiran saya. Masih banyak yang lain yang bisa mewakili.
Kak Martha bersikeras meminta. Akhirnya, saya iyakan. Saya berpikir, ya sudahlah, mungkin ini bagian dari rencana Tuhan buat saya.
Terus terang, saya bingung. Mesti memberikan sambutan seperti apa. Yang saya hadapi anak-anak dan orangtua, juga penatua gereja dan pendeta. Saya harus lebih banyak merujuk sambutan saya kepada siapa, begitu pikiran saya. Kepada anak-anak, orangtua, ataukah siapa?
Setahu saya, sebuah sambutan biasanya berisi kata syukur kepada Allah, lalu ucapan terima kasih dan kesan-pesan untuk acara. Itulah yang terbersit dalam benak saya.
Setibanya saya di depan anak-anak, konsep itu hilang. Saya otomatis bak seorang guru yang sedang berdiri di hadapan anak-anak seperti pengalaman saya mengajar di sekolah dasar.
"Shalom," kata saya.
"Shalom," kata anak-anak.
"Shalooom," ulang saya, berharap respon yang lebih keras dan penuh semangat dari anak-anak.
"Shalooom," kata mereka.