Mohon tunggu...
ERRY YULIA SIAHAAN
ERRY YULIA SIAHAAN Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis, guru, penikmat musik dan sastra

Menyukai musik dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Pisang Goreng

1 Maret 2023   22:40 Diperbarui: 2 Maret 2023   00:51 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sama tidak tersinggungnya jika setelah mencicipi ada saja yang langsung nyeletuk, "wah ini bukan pisang mremi." Pisang mremi adalah istilah lokal di daerah Flores Timur, untuk pisang kepok. Biasanya, jenis kepok kuning. Tekstur yang diminati biasanya yang tidak terlalu matang, sehingga masih padat sekalipun sudah digoreng. Rasanya juga tidak terlalu manis.

Kenapa Menunggu?

Mungkin Anda bertanya-tanya, sama herannya seperti saya pada awalnya, kenapa kehadiran pisang goreng sampai diatur sedemikian rupa, sampai harus menunggu dulu makan besar selesai. Ternyata, pisang goreng ini sangat digemari. Duduk berbincang-bincang ditemani pisang goreng bisa berlangsung berjam-jam. Ini tentu bisa membuat perut kenyang. Kalau disajikan sebelum makan besar, bisa dibayangkan bukan, makan besar bisa sulit mendapatkan giliran untuk disantap.

Pisang goreng membantu keluarga melepas rindu akan kampung halaman. Sebab, pisang goreng merupakan kudapan yang tersaji hampir tiap hari di kampung. Di tempat arisan, bukan hanya cerita aktual yang disuarakan. Setiap gigitan pisang goreng mengingatkan keluarga tentang momen-momen di mana ibu, tante, kakak-adik di kampung sudah repot-repot memasakkan pisang goreng untuk keluarga. Masing-masing punya kenangan sendiri. Kebersamaan sewaktu makan pisang goreng saat arisan pun,  suatu waktu mungkin mengisi daftar cerita ketika keluarga kembali bersilaturahmi.

Sementara itu, pertemuan keluarga yang sekali sebulan dirasakan cukup lama untuk mengendapkan pengalaman atau kisah hidup masing-masing. Begitu bertemu, semua yang menumpuk seperti mau ditumpahkan. Berada di tengah perbincangan, satu sama lain sepertinya tidak peduli apakah satu cerita nyambung atau tidak dengan cerita yang lain. Tidak ada masalah mengenai itu. Terbukti, semua bisa tertawa, merasa bahagia. Jadi, sah-sah saja. Terutama selagi pisang goreng masih ada.

Nah, menutup tulisan ini, sekarang lebih jelas, bukan? Bahwa, jika kehadiran pisang goreng merupakan sebuah redundansi, redundansinya itu bagus sekali. Nikmat. Mengasyikkan. Bahkan, ditunggu. Ini bukti, melihat sesuatu sebaiknya tidak secara hitam-putih. Termasuk melihat redundansi. Secara semantik, iya, redundansi dinilai tidak perlu, sebaiknya ditiadakan, karena hanya mengulangi makna. Tapi menyangkut kehidupan? Menyangkut makanan? Hmmm, jangan sampai ditiadakan! ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun