Sama tidak tersinggungnya jika setelah mencicipi ada saja yang langsung nyeletuk, "wah ini bukan pisang mremi." Pisang mremi adalah istilah lokal di daerah Flores Timur, untuk pisang kepok. Biasanya, jenis kepok kuning. Tekstur yang diminati biasanya yang tidak terlalu matang, sehingga masih padat sekalipun sudah digoreng. Rasanya juga tidak terlalu manis.
Kenapa Menunggu?
Mungkin Anda bertanya-tanya, sama herannya seperti saya pada awalnya, kenapa kehadiran pisang goreng sampai diatur sedemikian rupa, sampai harus menunggu dulu makan besar selesai. Ternyata, pisang goreng ini sangat digemari. Duduk berbincang-bincang ditemani pisang goreng bisa berlangsung berjam-jam. Ini tentu bisa membuat perut kenyang. Kalau disajikan sebelum makan besar, bisa dibayangkan bukan, makan besar bisa sulit mendapatkan giliran untuk disantap.
Pisang goreng membantu keluarga melepas rindu akan kampung halaman. Sebab, pisang goreng merupakan kudapan yang tersaji hampir tiap hari di kampung. Di tempat arisan, bukan hanya cerita aktual yang disuarakan. Setiap gigitan pisang goreng mengingatkan keluarga tentang momen-momen di mana ibu, tante, kakak-adik di kampung sudah repot-repot memasakkan pisang goreng untuk keluarga. Masing-masing punya kenangan sendiri. Kebersamaan sewaktu makan pisang goreng saat arisan pun, Â suatu waktu mungkin mengisi daftar cerita ketika keluarga kembali bersilaturahmi.
Sementara itu, pertemuan keluarga yang sekali sebulan dirasakan cukup lama untuk mengendapkan pengalaman atau kisah hidup masing-masing. Begitu bertemu, semua yang menumpuk seperti mau ditumpahkan. Berada di tengah perbincangan, satu sama lain sepertinya tidak peduli apakah satu cerita nyambung atau tidak dengan cerita yang lain. Tidak ada masalah mengenai itu. Terbukti, semua bisa tertawa, merasa bahagia. Jadi, sah-sah saja. Terutama selagi pisang goreng masih ada.
Nah, menutup tulisan ini, sekarang lebih jelas, bukan? Bahwa, jika kehadiran pisang goreng merupakan sebuah redundansi, redundansinya itu bagus sekali. Nikmat. Mengasyikkan. Bahkan, ditunggu. Ini bukti, melihat sesuatu sebaiknya tidak secara hitam-putih. Termasuk melihat redundansi. Secara semantik, iya, redundansi dinilai tidak perlu, sebaiknya ditiadakan, karena hanya mengulangi makna. Tapi menyangkut kehidupan? Menyangkut makanan? Hmmm, jangan sampai ditiadakan! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H