cerita demi cerita berjalan, minum teh dan kopi panas menjadi lebih nikmat, karena pisang goreng ikut disajikan. Satu piring datang, satu piring yang lain disingkirkan. Sudah kosong. Ludes dimakan. Cerita pun seakan wajib bersambung, sampai yang mengurus stok pisang di dapur berkata, "habis".
Sore-sore di akhir pekan, apalagi kalau sedang hujan, paling enak duduk bersama orang-orang tersayang. SementaraDari berbagai jenis makanan tradisional di Indonesia, pisang goreng termasuk yang paling digemari. Penganan ini bisa kita jumpai di mana saja. Dari ruang-ruang keluarga di pedesaan sampai hotel berbintang lima. Dari suasana yang super santai sampai  acara-acara yang lumayan formal. Kalau bisa berkisah, mungkin pisang goreng sudah menyodorkan tumpukan buku untuk dibaca. Tentang begitu banyak cerita yang bisa dikenang lewat kehadirannya. Entah itu warita yang dihadirkan pada saat makan pisang goreng, kenangan lama mengenai kebersamaan saat menikmati pisang goreng, ataupun cerita tentang pisang goreng itu sendiri.Â
Loh, Kok Bisa?
Percaya atau tidak, ini benar-benar terjadi. Di suatu daerah, seorang petani memanen pisang dari kebunnya. Dia berangkat pagi-pagi ke pasar untuk menjual pisangnya. Tak jarang dia malah berkeliling kampung supaya pisangnya itu lekas laku. Di manapun atau bagaimanapun cara dia menjualnya, di sela-sela kegiatannya itu dia pasti mampir di sebuah warung, langganannya. Untuk apa? Makan pisang goreng.
Saya dan anak-anak hampir tak percaya ketika mendengar cerita itu untuk pertama kalinya. Kami berpikir, loh, mengapa dia tidak menggoreng saja pisangnya di rumah, kalau dia memang suka pisang goreng. Begitulah, ada yang tidak bisa diukur dengan pikiran kita. Hidup itu bukan matematika. Petani itu merasa hidupnya nikmat sekali kalau bisa mampir di warung, bertemu teman-temannya, bercerita, sembari minum kopi dan makan pisang goreng. Sekalipun mungkin, pisang itu adalah pisang yang dibeli dari kebunnya. Ha ... ha ... ha ...
Wajib di Arisan
Lain lagi ceritanya dengan Pak Suli. Setiap bulan, pada minggu pertama, Pak Suli pasti sudah tidak sabaran datang ke tempat arisan keluarganya. Sebab, pisang goreng pasti disediakan di sana. Seperti makanan wajib. Biasanya, kalau baru datang, keluarga cerita-cerita dulu, sembari menunggu semua berkumpul. Sampai di sini, pisang goreng belum boleh muncul. Kalaupun ada kue, itu pasti bukan pisang goreng.
Keluarga akan menunggu sampai semua anggota arisan hadir atau jelas keberadaannya. Artinya, sudah tidak ada lagi yang perlu ditunggu. Setelah absensi komplit, keluarga berdoa untuk kemudian menyantap makanan pokok atau makanan besar, yaitu nasi, sayur, lauk, buah. Sampai di sini pun, pisang goreng belum boleh atau tidak akan nongol, menunggu sampai semuanya sudah menyantap makan besar dan duduk lagi untuk ngobrol-ngobrol.
Berjeda sekitar setengah sampai satu jam kemudian, barulah pisang goreng datang. Bisa berbarengan dengan teh dan kopi panas, bisa lebih dulu, bisa belakangan. Tergantung persiapan, kesigapan, dan pengaturan tuan rumah dan mereka yang sibuk di dapur. Sebab, pisang goreng itu biasanya bukan dibeli dari warung, melainkan dimasak langsung di dapur. Jadi, fresh from the oven.
"Huh ... hah ... huh ... hah," begitu biasa terdengar dari mana-mana, dari mereka yang kepanasan saat menyantap pisang yang baru datang dari dapur itu. Jika piring pisang goreng sudah terlihat datang, kemudian mulai digilir berkeliling, yang hadir biasanya sudah tidak sabaran. Begitu piring sampai di tangan, mereka sudah siap menyambut dengan tisu, kemudian mengambil pisang panas itu, lalu menggigitnya. Tidak lama, piring biasanya langsung kosong dan harus segera diangkut ke dapur untuk diisi lagi, sementara piring yang baru biasanya sudah berkeliling atau ditaruh di meja jika para tamu sudah kebagian semua.
Jika lebih dari satu jam pisang goreng belum juga datang, yang jadi tetamu biasanya berteriak, "pisang gorengnya mana nih". Itu hal biasa. Malah disambut tawa. Tuan rumah pun tidak akan tersinggung.
Sama tidak tersinggungnya jika setelah mencicipi ada saja yang langsung nyeletuk, "wah ini bukan pisang mremi." Pisang mremi adalah istilah lokal di daerah Flores Timur, untuk pisang kepok. Biasanya, jenis kepok kuning. Tekstur yang diminati biasanya yang tidak terlalu matang, sehingga masih padat sekalipun sudah digoreng. Rasanya juga tidak terlalu manis.
Kenapa Menunggu?
Mungkin Anda bertanya-tanya, sama herannya seperti saya pada awalnya, kenapa kehadiran pisang goreng sampai diatur sedemikian rupa, sampai harus menunggu dulu makan besar selesai. Ternyata, pisang goreng ini sangat digemari. Duduk berbincang-bincang ditemani pisang goreng bisa berlangsung berjam-jam. Ini tentu bisa membuat perut kenyang. Kalau disajikan sebelum makan besar, bisa dibayangkan bukan, makan besar bisa sulit mendapatkan giliran untuk disantap.
Pisang goreng membantu keluarga melepas rindu akan kampung halaman. Sebab, pisang goreng merupakan kudapan yang tersaji hampir tiap hari di kampung. Di tempat arisan, bukan hanya cerita aktual yang disuarakan. Setiap gigitan pisang goreng mengingatkan keluarga tentang momen-momen di mana ibu, tante, kakak-adik di kampung sudah repot-repot memasakkan pisang goreng untuk keluarga. Masing-masing punya kenangan sendiri. Kebersamaan sewaktu makan pisang goreng saat arisan pun, Â suatu waktu mungkin mengisi daftar cerita ketika keluarga kembali bersilaturahmi.
Sementara itu, pertemuan keluarga yang sekali sebulan dirasakan cukup lama untuk mengendapkan pengalaman atau kisah hidup masing-masing. Begitu bertemu, semua yang menumpuk seperti mau ditumpahkan. Berada di tengah perbincangan, satu sama lain sepertinya tidak peduli apakah satu cerita nyambung atau tidak dengan cerita yang lain. Tidak ada masalah mengenai itu. Terbukti, semua bisa tertawa, merasa bahagia. Jadi, sah-sah saja. Terutama selagi pisang goreng masih ada.
Nah, menutup tulisan ini, sekarang lebih jelas, bukan? Bahwa, jika kehadiran pisang goreng merupakan sebuah redundansi, redundansinya itu bagus sekali. Nikmat. Mengasyikkan. Bahkan, ditunggu. Ini bukti, melihat sesuatu sebaiknya tidak secara hitam-putih. Termasuk melihat redundansi. Secara semantik, iya, redundansi dinilai tidak perlu, sebaiknya ditiadakan, karena hanya mengulangi makna. Tapi menyangkut kehidupan? Menyangkut makanan? Hmmm, jangan sampai ditiadakan! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H