Mohon tunggu...
Er Pnambang
Er Pnambang Mohon Tunggu... -

"Sebab hidup tak semudah ketika anda bercerita, menulis atau berkomentar, mengecil diri kadang bisa mengisar setapak...". Tapi, kok serius sekali saya kayaknya ya? Di Kompasiana saya cuma pengen satu hal; ketawa; entah menertawakan atau ditertawakan...hahahahahahahahhhahahahahahahhhahahah

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Testimoni untuk Arti

21 Desember 2010   11:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:32 1192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku dengar kabar dari teman kerjaku, sekarang di taman kota ada orang gila. Kata temanku lagi, ia sesekali berdeklamasi kala pagi. Jadilah ia hiburan sekaligus kejijikan di keramaian pada pertigaan jalan yang cabangnya melingkari taman. " 'Aku menunggumu arti, penantian yang tak petang juga tak pagi… Begitu kira-kira deklamasinya” tiru temanku sekadarnya. Polisi tidak serta merta mengusirnya dari taman kota, “mungkin polisi kita menemukan hiburan mereka”, lanjut temanku.

Agak terkejut juga aku mendengarnya. Setahuku aku juga melewati taman kota, tiap berangkat dan pulang kerja. Tak pernah aku melihatnya. “Kau sih keterlaluan. Sense-mu terlalu kurang kepada jalanan”. Komentar temanku itu tak perlu kusambut dengan beragam cara, kecuali satu kata singkat saja; s-i-a-l-a-n.

Dengan bekal kepulanganku yang agak larut malam sekarang dan sedikit kemujuran, aku akan berbincang dengan orang gila itu. Berdiskusi soal deklamasi kalau perlu! Dan esok atau lusa, akulah yang akan mengolok-olok temanku itu. Hafalan deklamasinya itu bisa saja kukatakan sebagai hafalan yang nggak ngerti soal seni.

Kebetulan, langit malan ini sedang berdamai dengan bumi. Rombonga awan memang sesekali mengganggu sinar rembulan. Tapi itu bukan satu-satunya kemujuranku. Yang paling penting adalah orang gila itu belum beranjak dari taman kota. Kulihat lusuh raganya masih duduk tak jauh dari pos polisi. Sesekali, dua sisi jalan di sebelahnya ia pandangi. Untuk itu cukuplah kepalanya menoleh ke kanan, ke kiri.

Di bawah lampu penerang, dimana tiangnya ia jadikan sandaran, ia membawa serta lembaran-lembaran. Tangan kanannya diserahkannya pada pena. Aku yakin dia sedang menulis sesuatu. Jadinya aku sendiri agak ragu menyebutnya orang gila. Bisa saja ia seniman yang sedang meng-observasi jalanan. Atau mungkin saja mahaguru deklamasi yang terpaksa seperti itu demi penghayatan sebuah puisi. Tapi sudahlah, daripada aku mengira-ngira, segera saja kuhampiri dia.

“Kenapa kau duduk disini? Tahukah kau, karenanya semua orang telah menganggapmu gila”, tanyaku sambil duduk di sebelahnya. Ia diam saja. Aku mengulangi pertanyaanku, tapi hasilnya sama. Ia tetap saja begitu; membatu dalam bisu. Hingga tiba kali keenam kutanyakan, baru ia berkata; “menunggu arti..”, tanpa menoleh kepadaku, tanpa bertatapan mata.

“Tidakkah ia dikabarkan sudah lama mati?” Untuk mengerti orang gila atau seniman yang gila, mungkin kita harus berpura-pura ikut gila.

“Aku tidak percaya sebab arti tak pernah mati” jawabnya sembari tetap menulis kata-kata.“Tidakkah kau mencarinya?”tanyaku lagi.

“Pencarianku teramatlah sudah, hingga menunggu kini jadi pencarianku…”jawabnya. “Bilamana kau bisa berkata kau telah teramat mencarinya?”. “Saat mereka dan mungkin kau telah menganggap diriku sebagai orang gila”. Ia menoleh padaku sesaat, lalu kembali menatap lembaran-lembaran itu.

“Mengapa aku harus menganggapmu gila? Kau tampak waras-waras saja seperti yang lainnya” kataku. Dia diam, menghentikan perhatian pada lembarannya. Ia sejenak menoleh ke kanan, menatap dua polisi di pos polisi yang menertawai kami. Dia menghela nafas panjang, nafas yang bercampur sedikit kejengkelan.

“Apakah kau lihat disitu ada sebuah pintu?” tanyanya sembari menoleh lagi padaku. “Dimana? Disitu? Tidak kawan, kau ada di antara jalan yang bercabang; seperti pilihan!” kataku.

“Ah kau bahkan lebih gila! Lihatlah didepanku. Lihatlah kokohnya sebuah rumah, tempat dimana biasanya kita berdiam setelah lelah berjalan dalam pencarian. Dan disini aku; di depan pintunya menunggu”

“Ini hanyalah taman kota dimana jalan kota menjadi bercabang. Hanya jalan! Kau bebas memilih ke kiri atau ke kanan. Kenapa kau berkeras ini adalah sebuah rumah?”. “Karena aku memercayai bahwa ini adalah sebuah rumah”. “Lalu apakah Arti-mu tinggal di situ?”. “Ya, ia di sana, di dalam rumah itu. Ia melihatku di sini. Melihatku duduk di depan pintu. Aku selalu mengharap dan merindu”.

“Mengapa kau tidak masuk saja, bukankah tak terkunci pintunya. Kau tentu bisa saja membukanya”, ledekku. “Ya pintunya tadi senja telah terbuka. Tapi tidak kawan. Mungkin tidak akan pernah”.“Mengapa? Bukankah kau terlalu lama mencari arti? Lalu bila ia sudah bisa kau temui mengapa kau tak berlekas datang kepadanya?”. “Tidak kawan. Sekali lagi; tidak!” katanya. Ah orang gila!

“Mengapa?” tanyaku lagi.“Kau tidak akan mengerti meski mungkin kuterangkan seribu kali” katanya. “Ayolah, apapun itu, aku akan mencoba mendengarkan”. “Kadang aku merasa bersalah jika harus menceritakannya, sebab disana Arti melihatku sambil menangis. Apakah kau melihatnya?”katanya seraya menunjuk ke depannya. Tak menunjuk apapun kecuali udara. “Dan kau tahu? Aku tak berdaya jika Arti menangis, meski aku sendiri tak bisa untuk tidak menceritakannya”, lanjutnya sambil menatapku.

“Ayolah orang gila! Tak usahlah lagi berlama bercerita”. “Kau tahu mengapa aku duduk disini?”tanyanya. Matanya menyelidik kedua mataku. “Ya. Seperti katamu tadi; menunggu Arti” jawabku. “Maka tentu saja selanjutnya kau tahu mengapa mereka dan kau sendiri menganggapku gila?”. “Mmm..mungkin karena kau tetap menunggu arti yang ada dalam rumah meski pintunya telah terbuka sejak tadi senja” tebakku

“Benar! Lalu bisakah kau percaya itu semua?” tanyanya. Sorot matanya masih tak melepaskan mataku sebagai sasarannya. “Ah aku hanya percaya bahwa kau mengada-ada! Semua ini hanya karena kau gila! Aku sama sekali tidak percaya!” kataku. “Bagaimana bisa membuatmu percaya?” tanyanya. “Jika memang ada Arti” . “Aku telah katakan padamu, dia ada, sedang duduk disana; melihatku!. Tapi apa kau percaya itu?” ia bertanya padaku lagi. “Kalau begitu katakan saja pada Arti untuk hadir di sini dan berkata sendiri bahwa dia ada! Katakan itu kepadanya niscaya aku dan orang-orang itu percaya dan tidak menganggapmu gila”. “Itulah mengapa aku berkata kepadamu; aku hanya akan menunggu, mungkin menahan diriku untuk tidak masuk rumah lewat pintu. Sebab jika aku yang mengatakan sendiri bahwa ada Arti dan ia telah berhasil kutemui, kalian tetap tidak akan percaya. Kalian akan tetap menganggap aku gila! Kalan hanya percaya jika arti sendiri yang bicara dan datang ke sini”

“Percayakah kau bahwa Arti akan ke sini menghampirimu?” tanyaku. “Aku percaya, sangat!”jawabnya singkat. Matanya lalu beralih memandang ke depan. Barangkali memandang Arti-nya yang katanya duduk di depan sana. Mata yang jarang berkejap dan penuh harap.

“Apa yang membuatmu percaya?”. “Karena aku selalu percaya ia takkan rela membiarkanku disebut gila”. “Sampai kapan kau menunggu?”tanyaku lagi. “Jangan pernah tanyakan itu!” katanya singkat. “Mengapa?” tanyaku heran. “Karena masalahnya bukan waktu! Waktu tak terlalu sakti untuk membuat Arti hadir menemuiku disini. Hanya Arti yang membuatnya datang sebagai Arti”

“Apa yang kau tulis itu? Cerita?”tanyaku perihal catatannya. Ia melihat lembar itu sebentar. “Ya!” katanya. “Untuk apa? Adakah hubungannya dengan Arti?”. “Dulu hingga tadi, aku yakin begitu”, katanya. “Cerita ini menjaga kepercayaanku sendiri bahwa ada Arti. Memiliki Arti meski hanya bayangannya saja!” terusnya.

“Ah mengapa kau berbuat itu?”. “Karena dulu kukira memiliki bayangan Arti lebih baik daripada tidak sama sekali! Kau tahu? Aku seperti halnya manusia biasa yang memperoleh kenyamanan dengan menuhankan bayangan tuhan”, katanya. Huh! Lebih baik memang kusingkirkan perkiraanku kalau dia adalah seniman. Dia sudah terlalu benar-benar gila!

“Sampai kapan kau akan menulis cerita itu?”tanyaku kemudian. “Entahlah. Aku tak tahu. Mungkin aku akan menunda menuliskan kelanjutannya hingga Arti menghampiriku dan berkata; ‘Ini aku Arti datang sendiri untukmu yag menunggu!’ Pembicaraanku denganmu ini layaknya jeda tulisanku, selanjutnya aku akan diam menunggu..”katanya liri malam yang kiat larut, kian sendu.

“Lagipula…”lanjutnya. “lagipula apa?”, tanyaku ingin tahu. “Lagipula cerita ini mungkin takkan membuat Arti datang kesini. Harusnya aku percaya dari dulu Adam cuma diajari menamai biar aku bisa mengakui manusia terlampau banyak menghasilkan nama; tuhan, surga, dan bisa jadi; Arti!” jelasnya.

“Lalu?” tanyaku lagi. “Cerita ini harus kusudahi atau kalau tidak, aku akan dijebak” yakinnya. “Ah sudahlah, malam sudah terlalu tua. Tidakkah kau lelah?” tanyaku. Dia hanya diam…. “Kenapa kau diam?” tanyaku. Kegilaan mungkin memang menyimpan banyak kerahasiaan hingga memaksanya untuk diam. Agak lama, hingga…

“Aku bicara dengan arti. Bicara tanpa kata, berbincang dalam diam”, katanya tiba-tiba. “Ah sudahlah, aku mau pergi. Ternyata kau benar-benar gila. Selamat menunggu Arti-mu kalau begitu”kataku sambil berdiri dari dudukku lalu berjalan menjauhinya.

“Ya aku akan menunggu atau tidak sama sekali. Tapi sebelumnya aku ingin berterima kasih padamu” katanya agak keras. Aku menghentikan langkahku yang baru kali kelima. Saat kubalikkan wajahku padanya aku melihat senyumnya, tersungging meski hanya sedikit saja. “Terima kasih? Untuk apa?”tanyaku. “Terima kasih untuk menjadi bagian ceirtaku malam ini. Terima kasih karena perbincangan kita terlalu berarti untuk menjadi cerita ini!” katanya.

Aku bingung tak mengerti…

“Ah kau memang seperti kata orang; gila. Ngomong-ngomong, apa yang kau bicarakan tadi?” tanyaku lagi. “Yang mana?”. “Saat dengan arti kau bicara tanpa kata?”

“Oh. Aku berkata padanya; maafkan aku menunda menemuimu karena aku ingin kau yang datang padaku. Maafkan aku tak bisa menerimamu sebagai Arti jika pengakuan itu datang dariku; itu aku dan bukan dirimu. Maafkan aku menyudahi cerita ini, karena cerita ini tak pernah menghadirkan dirimu. Maafkan aku yang terlalu keparat memaksa dan sudah saatnya memaksa, jika kau benar ada dan tak mau kubilang kau sudah mati, datanglah sendiri setelah kalimat ini…”

*)26 Jan 05; Bagian diary saya -sempet muncul, ilang kemudian, taunya jadi draft...:)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun