Mohon tunggu...
Er Pnambang
Er Pnambang Mohon Tunggu... -

"Sebab hidup tak semudah ketika anda bercerita, menulis atau berkomentar, mengecil diri kadang bisa mengisar setapak...". Tapi, kok serius sekali saya kayaknya ya? Di Kompasiana saya cuma pengen satu hal; ketawa; entah menertawakan atau ditertawakan...hahahahahahahahhhahahahahahahhhahahah

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Testimoni untuk Arti

21 Desember 2010   11:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:32 1192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Lagipula…”lanjutnya. “lagipula apa?”, tanyaku ingin tahu. “Lagipula cerita ini mungkin takkan membuat Arti datang kesini. Harusnya aku percaya dari dulu Adam cuma diajari menamai biar aku bisa mengakui manusia terlampau banyak menghasilkan nama; tuhan, surga, dan bisa jadi; Arti!” jelasnya.

“Lalu?” tanyaku lagi. “Cerita ini harus kusudahi atau kalau tidak, aku akan dijebak” yakinnya. “Ah sudahlah, malam sudah terlalu tua. Tidakkah kau lelah?” tanyaku. Dia hanya diam…. “Kenapa kau diam?” tanyaku. Kegilaan mungkin memang menyimpan banyak kerahasiaan hingga memaksanya untuk diam. Agak lama, hingga…

“Aku bicara dengan arti. Bicara tanpa kata, berbincang dalam diam”, katanya tiba-tiba. “Ah sudahlah, aku mau pergi. Ternyata kau benar-benar gila. Selamat menunggu Arti-mu kalau begitu”kataku sambil berdiri dari dudukku lalu berjalan menjauhinya.

“Ya aku akan menunggu atau tidak sama sekali. Tapi sebelumnya aku ingin berterima kasih padamu” katanya agak keras. Aku menghentikan langkahku yang baru kali kelima. Saat kubalikkan wajahku padanya aku melihat senyumnya, tersungging meski hanya sedikit saja. “Terima kasih? Untuk apa?”tanyaku. “Terima kasih untuk menjadi bagian ceirtaku malam ini. Terima kasih karena perbincangan kita terlalu berarti untuk menjadi cerita ini!” katanya.

Aku bingung tak mengerti…

“Ah kau memang seperti kata orang; gila. Ngomong-ngomong, apa yang kau bicarakan tadi?” tanyaku lagi. “Yang mana?”. “Saat dengan arti kau bicara tanpa kata?”

“Oh. Aku berkata padanya; maafkan aku menunda menemuimu karena aku ingin kau yang datang padaku. Maafkan aku tak bisa menerimamu sebagai Arti jika pengakuan itu datang dariku; itu aku dan bukan dirimu. Maafkan aku menyudahi cerita ini, karena cerita ini tak pernah menghadirkan dirimu. Maafkan aku yang terlalu keparat memaksa dan sudah saatnya memaksa, jika kau benar ada dan tak mau kubilang kau sudah mati, datanglah sendiri setelah kalimat ini…”

*)26 Jan 05; Bagian diary saya -sempet muncul, ilang kemudian, taunya jadi draft...:)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun